Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
KOORDINATOR Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan terdapat potensi tumpang tindih dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Pasalnya, upaya untuk membuat satu sistem pendidikan nasional sudah tidak dapat dilakukan karena adanya sekolah yang dikelola Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Sekolah Rakyat, bahkan SMA Unggul Garuda.
“Adanya keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang memutuskan bahwa gratis untuk pendidikan dasar, SD dan SMP, baik negeri maupun swasta, ini mestinya difokuskan untuk bagaimana sekolah-sekolah swasta itu betul-betul gratis. Nah, itu yang mestinya ditindaklanjuti secara serius dari pemerintah pusat,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Kamis (12/6).
Lebih lanjut, Satriwan menekankan bahwa terdapat beberapa aspek yang perlu segera dibenahi oleh pemerintah. Salah satunya aspek tata kelola anggaran, baik itu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Nah, kita tahu di dalam UUD 1945 pasal 31, minimal anggaran APBN dan APBD itu 20% untuk pendidikan dan kita tahu untuk mencapai sekolah SD dan SMP gratis ini, berarti kan harus ada refocusing anggaran, penataan ulang anggaran pendidikan. Nah, bagaimana agar APBN kita itu yang 20% itu secara maksimal dapat dipakai untuk melaksanakan, mewujudkan keputusan MK, di sisi lain ada Sekolah Rakyat yang juga mengambil anggaran yang cukup besar juga,” kata Satriwan.
“Bahkan satu sekolah itu, anggaran pembangunan Sekolah Rakyat itu, kalau tidak salah Rp150 miliar. Untuk anggaran laptopnya anak-anak di sekolah rakyat itu kalau tidak salah, Rp2,3 triliun kalau nggak salah. Ini kan anggaran yang sangat jumbo. Bahkan lebih besar anggaran untuk Sekolah Rakyat ketimbang dana BOS untuk masing-masing murid. Dana BOS untuk masing-masing murid misalnya di SD, baik itu negeri atau swasta itu sekitar Rp900 ribu, sangat kecil untuk satu murid per tahun,” sambungnya.
Satriwan berharap pemerintah pusat segera menata ulang prioritas APBN. Termasuk untuk menyerahkan tata kelola Sekolah Rakyat ke Kemendikdasmen atau bahkan tidak perlu menyelenggarakan Sekolah Rakyat.
“Sebenarnya anak-anak yang miskin yang dari keluarga desil 1, desil 2 kategorinya, itu bisa diterima, diakomodir di sekolah dasar biasa. Karena juga ada jalur afirmasi kan yang notabene anak-anak tidak mampu. Nah, sekarang kan fokus pemerintah malah terpecah. Ada Sekolah Rakyat, Sekolah Unggul Garuda, dan sekolah umum,” kata dia.
Dia pun berharap dalam waktu dekat dapat disusun payung hukum untuk melaksanakan putusan MK oleh pemerintah. (H-4)
ANGGOTA Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amalia menilai program Sekolah Rakyat akan berbeda dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan sekolah gratis.
ANGGOTA Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amalia menilai program Sekolah Rakyat akan berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan sekolah gratis.
Presiden menjelaskan bahwa lembaga pendidikan merupakan penentu apakah suatu bangsa akan berhasil atau tidak.
Sekolah Rakyat hanya mampu menampung sekitar 1% dari total kebutuhan penerimaan siswa baru.
Kepala Suku Dinas (Sudin) Pendidikan Wilayah II Jakarta Barat Diding Wahyudin menyebut empat sekolah itu berada di Kecamatan Grogol Petamburan dan Kebon Jeruk.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved