Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
ISTILAH rakyat jelata menarik perhatian publik setelah Jubir Komunikasi Kepresidenan (PCO) Adita Irawati, menggunakan diksi tersebut saat menanggapi kasus Utusan Khusus Presiden Miftah Maulana yang mengolok-olok pedagang es teh.
Pernyataan Adita memicu polemik mengenai sensitivitas pejabat publik dalam memilih kata ketika menyampaikan pesan resmi.
Kontroversi ini mempertanyakan bagaimana pemerintah dapat menjaga komunikasi yang inklusif, serta sensitif terhadap dinamika sosial masyarakat luas.
Secara umum, rakyat jelata merujuk pada golongan mayoritas masyarakat yang tidak memiliki posisi politik, pengaruh, maupun status sosial tinggi.
Istilah ini kerap dipahami sebagai ‘orang biasa’ atau ‘rakyat kebanyakan’ yang menjadi tulang punggung kehidupan ekonomi dan sosial.
Meskipun demikian, muatan historis dan konotasi yang melekat pada istilah ini dapat memicu interpretasi berbeda, terutama ketika digunakan dalam konteks komunikasi resmi negara.
Dalam sebuah wawancara di stasiun televisi swasta, Adita Irawati awalnya mengomentari insiden yang melibatkan Utusan Khusus Presiden Miftah Maulana. Ia menyampaikan bahwa Istana menyesalkan kejadian tersebut karena Presiden Prabowo Subianto, menurutnya, sangat memperhatikan kepentingan masyarakat kecil, termasuk rakyat jelata.
"Kami dari pihak Istana tentu menyesalkan kejadian ini. Suatu hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi apalagi kalau kita lihat presiden kita Pak Prabowo Subianto ini kalau dilihat dari berbagai, baik itu melalui pidato ataupun kemudian kunjungan-kunjungan beliau ke lapangan, kunjungan kerja itu terlihat sekali keberpihakan beliau kepada rakyat kecil, kepada rakyat jelata," kata Adita.
Pernyataan ini langsung mendapat sorotan. Sebagian masyarakat menilai bahwa penggunaan istilah rakyat jelataterdengar merendahkan, meskipun artinya sekadar menunjuk pada rakyat biasa tanpa maksud melecehkan.
Menanggapi kritik yang berkembang, Adita Irawati segera memberikan klarifikasi melalui akun Instagram resmi Kantor Komunikasi Kepresidenan RI, @pco.ri. Ia meminta maaf dan menyatakan bahwa penggunaan diksi tersebut semata-mata mengacu pada definisi yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
"Saya memahami, diksi yang saya gunakan dianggap kurang tepat. Untuk itu, secara pribadi saya memohon maaf atas kejadian ini yang sebabkan kontroversi terhadap masyarakat," ujar Adita.
Ia menekankan bahwa penggunaan istilah tersebut tidak dimaksudkan untuk meremehkan atau merendahkan rakyat. Makna rakyat jelata dalam KBBI adalah rakyat biasa, yaitu seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya.
"Yaitu kita semua rakyat Indonesia," imbuh Adita.
Melalui permintaan maaf tersebut, Adita berjanji akan lebih berhati-hati dalam memilih kata dan diksi saat berkomunikasi tentang kebijakan dan program prioritas pemerintah di masa mendatang.
Kontroversi ini menyoroti betapa pentingnya sensitivitas dan kecermatan dalam komunikasi pejabat publik. Setiap kata yang digunakan dapat dipersepsikan secara berbeda oleh masyarakat yang memiliki latar belakang beragam.
Istilah rakyat jelata mungkin terdengar netral bagi sebagian orang, namun bagi pihak lain dapat terasa meremehkan, terutama mengingat konteks sosial-historis yang pernah melekat pada istilah tersebut.
Bagi pemerintah, polemik ini merupakan pengingat bahwa komunikasi bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan juga membangun kepercayaan publik.
Agar kebijakan dan program strategis dapat diterima dengan baik, diperlukan bahasa yang inklusif, sensitif, serta menghargai keanekaragaman masyarakat Indonesia.
Ke depan, para pejabat publik dan komunikator pemerintah perlu meningkatkan kualitas komunikasi mereka.
Bukan hanya soal pemilihan kata yang tepat, tetapi juga membangun dialog yang menghargai perasaan, pengalaman, dan aspirasi masyarakat luas.
Dengan demikian, istilah seperti rakyat jelata—jika pun harus digunakan—akan diletakkan dalam konteks yang jelas dan tidak menimbulkan salah pengertian.
Dalam iklim demokrasi yang semakin terbuka, masyarakat memiliki akses luas untuk mengkritisi dan menilai kinerja serta pernyataan pejabat publik.
Kesadaran akan hal ini dapat mendorong pemerintah untuk lebih peka dan terbuka, menciptakan hubungan yang saling menghargai, sehingga pemahaman tentang “rakyat jelata” kembali ke esensi utamanya: rakyat biasa yang menjadi basis kekuatan suatu bangsa.
Kontroversi penggunaan istilah rakyat jelata oleh Jubir PCO, Adita Irawati, menjadi cerminan betapa sensitifnya komunikasi di ruang publik. Klarifikasi dan permintaan maaf dari pihak yang bersangkutan diharapkan dapat meredakan tensi dan memulihkan kepercayaan.
Dengan langkah introspeksi dan upaya peningkatan sensitivitas komunikasi, pemerintah dapat semakin mendekatkan diri kepada masyarakat, membangun dialog konstruktif, dan memastikan kebijakan strategis benar-benar memenuhi harapan “rakyat biasa” yang menjadi tulang punggung negeri ini. (Z-10)
Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid meminta Presiden Prabowo Subianto tidak menerima pengunduran diri Miftah Maulana alias Gus Miftah.
Miftah Maulana Habiburrahman, resmi mengumumkan pengunduran dirinya pada Jumat (6/12).
PERNYATAAN Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah yang dinilai menghina penjual es teh Sunhaji menjadi sorotan media massa hingga warganet di Malaysia.
Menurut Puan Maharani soal Miftah Maulana atau Gus Miftah yang menghina pedagang es teh tak sesuai arahan Presiden Prabowo.
Menag Nasaruddin Umar berharap kasus yang menimpa Utusan Khusus Presiden Miftah Maulana atau dipanggil Gus Miftah menjadi pembelajaran agar pejabat bisa mengontrol diri di depan publik.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved