Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Kota Global Selatan Kekurangan Ruang Hijau: Tantangan dalam Mengatasi Gelombang Panas

Thalatie K Yani
27/11/2024 13:13
Kota Global Selatan Kekurangan Ruang Hijau: Tantangan dalam Mengatasi Gelombang Panas
Sebuah studi mengungkapkan kota-kota di Global Selatan memiliki kapasitas pendinginan yang lebih rendah dibandingkan Global Utara karena kekurangan ruang hijau. (NASA)

SAAT cuaca panas, berteduh di bawah pohon rindang akan memberikan perbedaan besar. Tapi apa yang terjadi bila naungannya tidak ada sama sekali?

Sebuah studi terbaru yang diterbitkan di Nature Communications menggunakan data satelit NASA untuk mengidentifikasi kesenjangan besar dalam ketahanan global terhadap perubahan iklim: kota-kota di Global Selatan memiliki ruang hijau yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kota-kota di Global Utara. Dalam studi ini, istilah Global Utara dan Global Selatan digunakan untuk membedakan negara maju (kebanyakan di belahan bumi utara) dari negara berkembang (kebanyakan di belahan bumi selatan).  

Kota-kota cenderung lebih panas daripada daerah pedesaan di sekitarnya karena efek pulau panas perkotaan. Permukaan gelap yang menjebak panas seperti trotoar, bangunan, dan jalan menyerap panas dari sinar matahari, yang meningkatkan suhu kota. Panas ekstrem menimbulkan ancaman kesehatan serius bagi penduduk perkotaan, termasuk dehidrasi, serangan panas, dan bahkan kematian. Meskipun bukan solusi menyeluruh, ruang hijau memberikan naungan dan melepaskan kelembapan ke udara, sehingga mendinginkan lingkungan sekitar.  

"Kota-kota dapat secara strategis memprioritaskan pengembangan ruang hijau baru di area yang memiliki ruang hijau lebih sedikit," kata Christian Braneon, ilmuwan iklim di NASA’s Goddard Institute for Space Studies di New York yang tidak terlibat dalam penelitian ini. "Data satelit bisa sangat membantu untuk ini."  

Tim peneliti internasional yang dipimpin Yuxiang Li, mahasiswa doktoral di Universitas Nanjing, menganalisis 500 kota terbesar di dunia untuk membandingkan kapasitas pendinginan mereka. Mereka menggunakan data dari satelit Landsat 8, yang dikelola bersama oleh NASA dan U.S. Geological Survey, untuk menentukan seberapa efektif ruang hijau dalam mendinginkan setiap kota.  

Pertama, mereka menghitung rata-rata suhu permukaan tanah selama bulan terpanas tahun 2018 untuk setiap kota, serta rata-rata bulan terpanas dari 2017 hingga 2019. Selanjutnya, para peneliti menggunakan metrik bernama Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) untuk memetakan seberapa banyak ruang hijau di setiap kota. NDVI didasarkan pada fakta vegetasi sehat menyerap cahaya merah dan memantulkan cahaya inframerah: rasio panjang gelombang ini dapat menunjukkan kepadatan vegetasi sehat dalam citra satelit tertentu.  

Para peneliti menemukan kota-kota di Global Selatan hanya memiliki 70% kapasitas pendinginan yang terkait dengan ruang hijau dibandingkan kota-kota di Global Utara. Ruang hijau di kota rata-rata di Global Selatan mendinginkan suhu sekitar 2,5°C (4,5°F). Di kota rata-rata Global Utara, kapasitas pendinginan ini mencapai 3,6°C (6,5°F). Masalah ini diperburuk fakta kota-kota di Selatan cenderung berada di lintang yang lebih rendah (lebih dekat dengan Khatulistiwa), yang diperkirakan akan mengalami lebih banyak gelombang panas di masa depan.  

"Sudah jelas bahwa negara-negara di Global Selatan akan lebih terdampak oleh gelombang panas, kenaikan suhu, dan ekstrem iklim dibandingkan rekan-rekan mereka di Global Utara," kata Chi Xu, profesor ekologi di Universitas Nanjing dan salah satu penulis studi ini. Global Selatan memiliki kapasitas lebih rendah untuk beradaptasi dengan panas karena AC lebih jarang digunakan dan pemadaman listrik lebih sering terjadi.  

Mengapa kota-kota di Global Selatan kesulitan tetap sejuk? Kota-kota di Global Selatan cenderung memiliki lebih sedikit ruang hijau dibandingkan kota-kota di Global Utara. Hal ini mencerminkan studi tentang disparitas di dalam kota, yang kadang disebut sebagai "efek kemewahan": lingkungan yang lebih kaya cenderung memiliki lebih banyak ruang hijau dibandingkan lingkungan yang lebih miskin. "Kota-kota yang lebih kaya juga memiliki lebih banyak ruang hijau perkotaan dibandingkan kota-kota termiskin," kata Chi.  

Tidak mungkin perencana kota dapat menutup kesenjangan antara kota dengan performa terburuk (Mogadishu, Somalia) dan kota dengan performa terbaik (Charlotte, North Carolina).  

Mogadishu adalah kota padat dengan iklim kering yang membatasi pertumbuhan vegetasi. Namun, ada banyak hal yang bisa dipelajari setiap kota dari tetangganya. Dalam wilayah tertentu, para peneliti mengidentifikasi kota dengan kapasitas pendinginan terbesar dan menggunakan itu sebagai acuan. Mereka menghitung perbedaan antara kota dengan performa terbaik di wilayah tersebut dan setiap kota di sekitarnya untuk mendapatkan potensi peningkatan kapasitas pendinginan tambahan. 

Mereka menemukan bahwa kapasitas pendinginan rata-rata kota dapat ditingkatkan secara substansial—hingga 10°C (18°F)—dengan secara sistematis meningkatkan kuantitas dan kualitas ruang hijau.  

"Bagaimana Anda memanfaatkan ruang hijau sangat bergantung pada iklim dan lingkungan perkotaan yang menjadi fokus Anda," kata Braneon, yang penelitiannya di NASA berfokus pada perubahan iklim dan perencanaan perkotaan.  

Kota-kota yang lebih hijau di AS dan Kanada memiliki kepadatan populasi yang lebih rendah. Namun, lebih sedikit orang per mil persegi tidak selalu baik untuk lingkungan: penduduk di kota-kota dengan kepadatan rendah lebih bergantung pada mobil, dan rumah mereka cenderung lebih besar dan kurang efisien. 

Braneon mencatat ada berbagai solusi di luar sekadar menanam pohon atau menetapkan taman: kota dapat meningkatkan kapasitas pendinginan dengan menciptakan badan air, menanam atap hijau, dan mengecat atap atau trotoar dengan warna lebih terang untuk memantulkan lebih banyak cahaya.  

Dengan studi global seperti ini, perencana kota dapat membandingkan strategi untuk kota-kota di wilayah yang sama atau dengan kepadatan serupa. "Untuk area yang baru mengalami urbanisasi dan belum sepenuhnya terbangun, masih ada banyak ruang untuk mengubah desain," kata Braneon.  (NASA/Z-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya