Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Hari Kuningan: Mengenal dan Memahami Prosesinya dalam Konteks Spiritual dan Budaya Hindu Bali

Melani Pau
05/10/2024 10:17
Hari Kuningan: Mengenal dan Memahami Prosesinya dalam Konteks Spiritual dan Budaya Hindu Bali
Ilustrasi--Sejumlah umat Hindu mengikuti persembahyangan Hari Raya Galungan di Pura Pitamaha, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Rabu (25/9/2024).(ANTARA/Auliya Rahman)

HARI Raya Kuningan berasal dari kata “kuning” yang dapat diberikan arti selain warna adalah “Amertha” (air suci). Satu sudut pandangan yang lain bahwa, kata Kuningan berasal dari kata "Keuningan” yang mengandung arti “Kepradnyanan” (kebijaksanaan atau kepintaran).

Hari Raya Kuningan merupakan hari raya suci yang agama Hindu yang dirayakan setiap bulan sekali atau 210 hari sekali yaitu setiap hari Sabtu Wuku Kuningan yang jatuh setelah sepuluh hari dari hari Galungan yaitu kembali Sang Pitara bersama para Dewa dimana umat menghaturkan bakti memohon kesentosaan dan kedirgahayusan (panjang umur) serta perlindungan dan tuntunan lahir batin dalam menghadapi tantangan hidup selanjutnya. Hari Raya Kuningan merupakan hari pertahanan/kekuatanhari pahlawan.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, hari Sabtu merupakan nama hari yang ketujuh, sedangkan dalam agama Hindu, Sabtu (Saniscara) bagian dari Saptawara. Sedangkan Kliwon dalam kamus Bali Indonesia nama baik yang kelima dalam pancawara (umanis, paing, pon, wage, kliwon). Kliwon merupakan hari yang dianggap baik oleh umat Hindu yang melakukan penyucian lahir batin, pemujaan dan menghaturkan persembahan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi,para Dewa, leluhur serta menyampaikan rasa terimakasih kepada unsur kekuatan alam yang dianggap telah membantu kehidupannya.

Baca juga : Ucapan Perayaan Hari Kuningan: Memperkuat Tali Persaudaraan dan Menghormati Leluhur dalam Momen Sakral

Hari Raya Kuningan di Bali sering dikenal dengan Tumpek Kuningan atau sepuluh hari setelah Galungan. Hari Raya Kuningan ini merupakan hari resepsi dari Galungan sebagai kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (ketidakbenaran) yang pemujaannya ditujukan kepada para Dewa dan Dewa Pitara (leluhur) telah kembali ke Khayangan.

Penyelenggaraan upacara Kuningan diisyaratkan supaya dilakukan semasih pagi dan tidak dibenarkan setelah matahari condong ke barat. Sarana upacara sebagai simbol kesemarakan, kemeriahan terdiri dari berbagai macam jahitan yang mempunyai simbolis sebagai alat-alat perang yang diparadekan seperti nasi berwarna kuning, tamiang, endongan, kolem, wayang dan lainnya.

Karena beliau telah melimpahkan rahmat-nya untuk dunia ini. Kala sudah makmur biasanya kita sebagai manusia akan lupa dengan bahaya-bahaya yang mengancam serta tidak kelihatan dan lupa mempersembahkan sesajen kepada Ida Sang Hyang Widhi untuk mencegah bahaya yang tidak kelihatan tersebut maka umat memasang tamiang kolem dan endongan sebagai simbolis mala petaka waktu kita tidur atau terlena dan sebagai persembahan kepada para Dewa yang akan pergi ke Kahyangan. Waktu akan menghaturkan sesajen nasi kuning hendaknya sebelum tengah hari.

Baca juga : 5 Tradisi dan Ritual Perayaan Hari Raya Kuningan, Berikut Filosofinya untuk Kehidupan

Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa para Dewa dan Dewa Pitara (leluhur) turun lagi untuk melaksanakan penyucian serta menikmati sajen-sajen yang dipersembahkan dan kemudian kembali ke Kahyangan dengan menganugerahkan atau memberkahi kesejahteraan kedamaian dan kelestarian alam beserta isinya. 

Untuk menyambut kedatangan beliau banten punjung kuningan sebagai tanda sujud dan bhakti umat manusia sehingga banten punjung menjadi penting dan utama pada hari raya Kuningan.

Prosesi Upacara Kuningan

A. Peran Pemangku dalam upacara:

Baca juga : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kuningan Gelar Pengabdian Masyarakat untuk Lansia

Pemangku adalah rohaniawan yang masih tergolong pada tingkat Eka Jati.

Keadaan diri, upakara pewintenan, dan agem-ageman seorang pemangku supaya disesuaikan dengan tingkat pura yang diemongnya, sebagaimana dimaksud dalam sesananya.

Kekhususan-kekhususan setempat dalam ngadegang Pemangku dan sebagainya (Kebayan, Jro Gede, Juru Bahu).

Baca juga : Moderasi Agama: Kemenag Luncurkan Pasraman sebagai Pusat Pendidikan

B. Persiapan

Persiapan-persiapan yang dilakukan oleh seorang Pemangku (Pinandita) sebelum akan berangkat ke tempat suci (Pura) dan setibanya di tempat suci (Pura) perlu untuk diketahui secara seksama. Hal ini adalah menyangkut hidup keseharian dari seorang Pemangku (Pinandita) dengan selalu menjaga kebersihan dan kesucian dirinya baik lahir maupun bathin (Wahya) dan (Adhiyatmika). 

Persiapan-persiapan yang dilakukan bagi seorang Pemangku (Pinandita) adalah mulai dari asuci laksana, berbusana, nata perangkat upakara atau upacara di Pura dan lain sebagainya. Kegiatan dimaksud telah tertuang dalam kitab Kusuma Dewa dan Gagelaran Pemangku.

Pada dasarnya, urutan pelaksanaan upacara Kuningan sama dengan hari Galungan, hanya sarana dan jenis upakaranya lebih banyak dan ada beberapa penambahan dan pengurangan. Urutan-urutannya sebagai berikut:

Langakah awal melaksanakan pembersihan pada tempat-tempat pelaksanaan upacara baik secara sekala, yaitu dengan menyapu dan niskala, yaitu menghaturkan upakara pengeresikan (pembersihan).

Dilanjutkan dengan pemasangan sarana-sarana perlengkapan berupa “Raja Pangangge (Busana Palinggih)”, kemudian diisi candiga, gantung-gantungan, tamiang, kolem, ter, endogan, dan pelawa (daun kayu), ratna, plipid dan sejenisnya.

Mengatur persembahan berupa sesajen pada masing-masing tempat pelaksanaan upacara Kuningan. Pengaturannya hampir sama dengan pada hari Galungan, hanya saja jenis bebantenannya agak berbeda. 

Persembahan berupa banten Pekoleman (pengadangan) pada hari Kuningan tidak ada, karena demikian selesai dipuja yaitu sebelum tengah hari, setelah itu Umat Hindu selesai amukti sesajen (menikmati sesajen yang telah dipersembahkan kepada-Nya), Beliau segera kembali ke Kahyangan masing-masing dengan memberkahi kesejahteraan, kedamaian dan kedigayusaan.

Mengatur semua sesajen ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasi-Nya (Prabhawanya) masing-masing pada semua tempat pelaksanaan upacara tersebut. Khusus terhadap sesajen yang dihaturkan pada Sang Dumadi (yang menjelma kepada kita sekalian), selesai dihaturkan lalu ditatab, dengan tujuan mohon berkah perlindungan keselamatan. Kemudian dilanjutkan dengan sembahyang bersama, nunas wangsuh pada (tirtha dan bija). 

Acara sembahyangan ditutup dengan menebar sesajen yang dihaturkan pada Sang Dumadi, yaitu setelah diayab dan ditatab, dilanjutkan dengan makan bersama dengan semua anggota keluarga untuk memohon berkahnya, agar dikaruniai keselamatan berupa kesehatan jasmani, ketahanan mental dan kekuatan batin dalam menjalani kehidupan di dunia ini. (Z-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya