Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Sosialisasi Pesantren Ramah Anak Jadi ‘Ikhtiar Dini’ Kemenag Cegah Kekerasan

Dinda Shabrina
19/9/2022 11:53
Sosialisasi Pesantren Ramah Anak Jadi ‘Ikhtiar Dini’ Kemenag Cegah Kekerasan
Santri membaca Al Quran menggunakan bahasa isyarat di Pondok Pesantren Darul Ashom, Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (26/8/2022)(ANTARA/Hendra Nurdiyansyah)

DIREKTUR Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama (Kemenag), Waryono Abdul Ghofur, mengakui belakangan ini marak terjadi kekerasan di lingkungan pendidikan keagamaan. Waryono juga menyebut perlu adanya langkah preventif atau ‘ikhtiar dini’ untuk mencegah kekerasan terjadi lagi di pesantren.

“Kami melakukan sejumlah upaya, meskipun tidak harus show of force. Misalnya, preventifnya, kami melakukan upaya pembinaan sosialisasi pesantren ramah anak. Kami punya buku panduan yang disusun bersama Kemen PPPA untuk pesantren ramah anak. Ini kami sosialisasikan,” kata Waryono dalam keterangannya, Minggu (18/9).

Upaya ini tengah digencarkan di lingkungan pesantren. Kemenag, kata Waryono terus menjalin komunikasi dengan beberapa pesantren untuk saling mengingatkan bahwa santri adalah titipan orangtua kepada para kiai, ibu nyai, ustaz dan ustazah. Sehingga, kata dia, santri harus diperlakukan dengan baik seperti anak sendiri.

Baca jugaUI Jadi Salah Satu Pelaksana Program Wirausaha Merdeka

“Santri harus mendapatkan pelindungan dan pembelajaran. Kalau sakit, diobati. Tidak boleh mendapatkan kekerasan. Ini terus kami komunikasikan dan sosialisasikan,” jelas Waryono.

Proses sosialisasi pesantren ramah anak ini, kata dia terus berjalan secara bertahap. “Sebab, jumlah pesantren memang sangat banyak, lebih 37ribu yang terdaftar di Kemenag. Sosialisasi disampaikan kepada para Kepala Bidang dan Kepala Seksi di Kanwil Kemenag Provinsi yang bertugas dalam pembinaan pesantren,” ungkap Waryono.

Sosialisasi tersebut juga diberikan kepada perwakilan pesantren, baik dalam forum dalam jaringan (daring) atau luar jaringan (luring). Dia juga meminta agar seluruh pengasuh pesantren harus membaca regulasi terkait pelindungan anak dan perempuan.

“Bahkan, saya menyebutnya regulasi itu sebagai kitab kuning baru. UU pelindungan anak dan perempuan agar menjadi panduan pesantren dan seluruh masyarakat Indonesia,” tuturnya.

“Jadi, pesantren tidak hanya membaca kitab kuning (keagamaan) ansich, tapi juga kitab kuning dalam bentuk regulasi yang berlaku di Indonesia,” sambungnya.

Kemenag, lanjut Waryono, saat ini juga tengah Menyusun Rancangan Peraturan Menteri Agama (RPMA) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan Anak di Pesantren. Proses penyusunannya sudah memasuki tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.

RPMA ini terdiri dari 8 bab dengan kurang lebih 50 pasal. Definisi kekerasan seksual dalam regulasi ini berbeda dari definisi dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Pasalnya, aturan Permendikbud memiliki klausul ‘tanpa persetujuan korban’ untuk mendefinisikan tindakan kekerasan seksual. Dalam RPMA ini, definisi dibuat dengan pendekatan agama.

RPMA juga memuat bab pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama. Aturan ini akan mendorong lembaga pendidikan agama untuk membuat satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS).

Dalam bab penanganan, regulasi ini akan mengatur alur pelaporan bagi korban kekerasan seksual. Kemenag akan bekerja sama dengan Dinas Sosial dan lembaga swadaya masyarakat untuk membantu mendampingi korban dari aspek psikologis.

Bab ini juga mengatur sikap lembaga pendidikan terhadap pelaku dan korban. Waryono menerangkan, korban semestinya diberi kesempatan untuk tetap melanjutkan pendidikan.

Terkait pelaku kekerasan seksual dalam lembaga pendidikan agama, Waryono menjelaskan bahwa regulasi yang sedang disusun ini mengatur tentang sanksi dalam bentuk administratif dan pidana. Jika memenuhi unsur pidana, pelaku akan diserahkan ke penegak hukum. “Kalau administratif bisa berupa pemecatan,” kata Waryono.

“Regulasi ini juga akan mengatur bahwa pelaku harus membayar ganti rugi untuk memulihkan mental dan kesehatan korban,” ucap dia.

Ditanya terkait penanganan kasus kekerasan yang sudah terjadi, Waryono mengaku hal itu menjadi perhatian Kementerian Agama. Bahkan, pihaknya selalu memberikan respon pada kesempatan pertama mendapat informasi terkait itu. Upaya yang dilakukan antara lain melakukan identifikasi dan investigasi.

"Jika sudah ranah hukum, kita serahkan ke penegak hukum. Terkait pembinaanya, kami bersama kementerian dan lembaga terkait lainnya berkoordinasi dan bersinergi untuk melakukan langkah penyelesaian bersama,” paparnya.

“Lembaga terkait itu misalnya Kemen PPA dan pihak kepolisian, kami berkoordinasi agar pokok persoalannya menjadi clear,” imbuh dia.

Waryono menyampaikan proses pelindungan korban tindak kekerasan pada anak dan perempuan, apalagi tindak kekerasan seksual, perlu melibatkan banyak stakeholders. Para pihak perlu memikirkan nasib korban kekerasan.

“Misalnya, apakah langsung dipulangkan ke orang tua? Lalu bagaimana masa depan pendidikannya? Kalau korban hamil dan punya anak, bagaimana? Kalau korban tidak mau pulang dititipkan ke siapa? Ini semua harus dipikir. Kita tidak bisa hanya menyelesaikan pelakunya saja, tapi juga perlu dipikirkan nasib korbannya seperti apa. Nah, kita bisa libatkan Dinas Sosial,” jelasnya.

“Jadi kita juga harus melindungi korbannya, terutama anak-anak dan perempuan. Dan, penanganannya juga harus komprehensif,” tandasnya. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya