PERNAH berada di titik terendah dalam hidup, Maya Hikmatin mencoba melewati berbagai proses yang mampu membuatnya bangkit. Ia pun belajar di salah satu tempat terkait metode penyembuhan diri (self healing). Dalam proses itu, ia mempelajari filosofi ‘the art of letting go’ (seni melepaskan dalam hidup).
Dari gurunya, ia mendapat penjelasan bahwa tubuh bisa mengenali bahan makanan yang cocok bagi manusia. Kebanyakan itu ditemukan dari bahan natural (alam). Dalam konsep tersebut, mengonsumsi bahan makanan yang diperlukan tubuh penting untuk mengisi daya ulang energi dalam proses penyembuhan.
“Intinya manusia itu, kan, melakukan beragam aktivitas dan itu membutuhkan energi. Ketika mau memulihkan diri (self healing), artinya tanpa bantuan obat atau apa pun. Hanya mengandalkan apa yang dikonsumsi tubuh dan aktivitas yang dilakukan serta pola istirahat. Itu pula biasanya kenapa saat tubuh sakit dianjurkan memakan makanan yang mudah dicerna,” kata Maya, pendiri merek fesyen Lepas saat dijumpai Media Indonesia ketika mengikuti bazar merek lokal Lewi's Collective Market 2022 di Lewi's Organics Factory Shop, Tangerang Selatan, akhir Agustus lalu.
Dari proses penyembuhan diri yang dijalankan Maya selama kurun lima tahun tersebut, ia pun kemudian tercetus untuk kembali berkarya. Sebelumnya, ia berkarier sebagai desainer interior. Namun, pemantiknya untuk kembali berkarya ialah bisa melahirkan sebuah produk yang juga punya nilai manfaat bersama.
Atas dasar perjalanan penyembuhan diri yang berfokus pada salah satunya mengonsumsi bahan-bahan natural, ia pun mencoba dengan ide penciptaan pakaian yang juga terbuat dari bahan natural dari serat tanaman. Ia menggunakan tencel yang terbuat dari serat pohon eukaliptus dan linen yang terbuat dari serat pohon rami.
“Karena isu saya ketika itu adalah attachment, sebab itu nama Lepas dipilih. Semacam doa agar siapa pun yang memakai Lepas bisa lebih mudah setahap lagi dalam menjalankan seni melepaskan dalam hidup. Dan kenapa pakaian, karena itu adalah sebuah hal yang 24 jam rasanya tidak bisa lepas dari tubuh manusia. Dibuat dari bahan natural, harapannya juga bisa menjadi hal baik bagi tubuh,” kata Maya.
Memproduksi secara etis
Sejak awal, Lepas mengusung konsep bisnis slow fashion (fesyen mode lamban). Dalam setahun, hanya akan dibatasi tiga musim (pergantian model). Dengan setiap musimnya terdapat 200 item. Pada awalnya, Maya menggelontorkan modal sekitar Rp20 juta untuk memproduksi 100-an item dari 10 artikel (lini) produk fesyennya.
“Misal ada 12 artikel, jadi satu artikel itu cuma 10-15 item. Jadi memang sangat terbatas.”
Maya memang menyadari dengan skalanya yang terbatas tersebut, secara pertumbuhannya memang lebih lambat bila dibandingkan dengan fast fashion yang secara pergantian modelnya bisa lebih sering. “Di beberapa titik jadi hambatan, misal item sedikit tentu akan sedikit juga secara profit. Tapi aku percaya dengan intensi yang baik, ini juga akan membawa kebaikan dan akan lebih bertahan lebih lama.”
Dalam produksinya, Maya menggandeng dua penjahit rumahan. Biasanya ia akan sangat meminimalkan limbah kain. Dalam memproduksi satu pakaian, misalnya, benar-benar akan disesuaikan dari kebutuhan kainnya sehingga itu juga akan mengurangi kain sisa.
“Kami sangat terbuka dengan teman-teman yang memang biasa memanfaatkan daur ulang. Bahkan, kain sisa itu sudah kami kategorikan berdasar warna dan bahannya. Kalaupun ada sisa potongan kain yang cukup besar, biasanya kami produksi lagi menjadi pouch,” jelas Maya.
Menemukan pasar
Lepas mengembangkan pasar mereka pertama kali lewat platform media sosial Instagram. Ketika awal memulai, Lepas mengandalkan kekuatan narasi humanis yang biasanya juga membahas isu-isu seputar kesehatan mental. Dari strategi tersebut, Lepas pun mendapat atensi dari warganet yang kemudian menjadi target audiens dan pasar mereka.
Diakui Maya, optimasi seperti iklan di media sosial memang jarang dilakukan. Hal itu disebabkan alokasi bujet masih diprioritaskan untuk pos lain. Atensi yang didapat benar-benar dibangun dari narasi humanis yang dibagikan. Merek fesyen yang terbentuk pada 2019 itu pun baru menjajal platform lokapasar digital Tokopedia pada tahun ini.
“Kalau di lokapasar digital, kami buka itu tujuannya untuk memberikan kanal supaya orang punya pilihan dalam pembelian dan jenis pembayaran. Di platform itu, kan, juga bisa menjual secara langsung (direct selling), tidak perlu banyak bertanya, pembeli biasanya sudah paham.”
Dengan perjalanan selama kurun empat tahun belakang ini, Lepas kini memiliki lima tim inti. Sementara itu, untuk memproduksi konten kreatif seperti fotografer, biasanya mereka merekrut pekerja lepas dengan bujet per proyek di kisaran Rp3-Rp5 juta, termasuk untuk ilustrator. Sisanya digarap sendiri oleh Maya dan timnya.
Lepas memang sempat menemukan momentumnya sebelum pandemi. Dengan mengandalkan Instagram, penjualan mereka pun bisa dibilang lancar dan merek tersebut bisa dikenal secara luas dengan rerata pasarnya berasal dari Jabodetabek, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Bali.
Namun, itu merupakan masa ketika algoritma Instagram menurut Maya masih bisa terkontrol. Kini, dengan perkembangan media sosial yang lebih kompleks, Lepas lebih mengutamakan fondasi utamanya dari kanal luring, seperti mengikuti pameran, pasar lokal, dan bazar. Terlebih, selama 2022 ini, pasar Lepas didominasi dari kanal luring, termasuk menjadi salah satu ekshibitor dalam rangkaian G-20 International Wellness Tourism Conference & Festival yang berlangsung pada awal Agustus.
“Pada akhirnya, saya menyadari memang ekosistem digital itu bisa menolong pelaku bisnis. Tapi kita juga harus sadar, di sisi lain, bagi saya itu sangat rapuh karena gampang banget berubahnya (algoritma). Jadi, tidak bisa dikendalikan. Kontrol atau kuasanya bukan ada di kita.”
Maya pun mendorong agar ke depan bisa punya ekosistem digital yang lebih mapan dan mandiri tanpa bergantung pada suatu platform tertentu. Tidak bisa sepenuhnya mengandalkan pada platform media sosial. “Kami sedang membangun website. Sudah ada, tapi perlu perbaikan. Ini supaya kami tidak bergantung pada platform tertentu.” (M-4)
—
Tulisan 2
Membuka Kelas Pemulihan Energi
BERKACA dari pengalamannya yang sempat mengalami permasalahan keterikatan, Maya Hikmatin pun menempuh proses penyembuhan diri yang dibantu guru spiritualnya. Proses penyembuhan diri yang intensif berjalan selama kurun lima tahun itu membuatnya kini memiliki kondisi yang lebih baik jika dibandingkan dengan sebelumnya.
Kini Maya yang sebelumnya berkarier sebagai desainer interior, bisa kembali bekerja sebagai pebisnis dengan meluncurkan merek fesyen Lepas. Produk usahanya itu bahan dasarnya terbuat dari alam. Semangat merek tersebut juga sejalan dengan yang diyakini Maya selama perjalanan lima tahun terakhir.
“Perjalanan melepaskan itu perjalanan sepanjang usia. Dan menurut saya, alangkah menyenangkan jika proses tersebut dibagi bareng-bareng,” kata Maya kepada Media Indonesia di penghujung Agustus lalu.
Maya pun mengadaptasi metodologi kinesiologi yang diajarkan gurunya saat proses penyembuhan diri. Metode tersebut mampu mengakses titik-titik dalam tubuh manusia untuk mengetahui mana yang baik dan tidak bagi tubuh.
“Jadi, dengan metode tersebut, saya mengetes perbedaan pakaian dengan serat sintetis/poliester/mikroplastik dengan pakaian yang lebih banyak serat naturalnya. Biasanya, aksesnya pakai otot tangan. Kalau tangan menguat, artinya badan nyaman dan kenal dengan bahan tersebut. Tapi kalau tangan turun, bahan tidak dikenal tubuh,” jelas Maya.
Selain menjalankan bisnis, kini Lepas juga memfasilitasi kelas-kelas penyembuhan diri dan pemulihan energi. Maya biasanya akan bekerja sama dengan para pakar dan fasilitator.
“Kami juga mengaktivasi kelas-kelas untuk energy healing atau self development yang berhubungan dengan perjalanan kami yang memang lahir dari titik pengalaman self healing.” (Jek/M-4)