Headline
DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.
DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.
AKTIVIS perlindungan anak sekaligus Manager Advokasi Wahana Visi Indonesia, Junito Drias mengatakan dirinya menyambut baik jika ada penghapusan rimisi untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Penghapusan remisi ini, kata dia tidak berlaku untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak secara umum. “Saya setuju usulan Bu Risma jika memang mau dihapus, tapi pelaku kekerasan seksual dewasa saja,” kata Junito kepada Media Indonesia, Senin (5/9).
“Pelaku kekerasan seksual itu kan bisa anak itu sendiri, bisa orang dewasa. Ketika dia orang dewasa, bagi saya tidak masalah kalau dia tidak mendapat remisi. Tetapi kalau pelakunya anak, kayak anak berhadapan dengan hukum statusnya, dia itu ketika mendapatkan remisi, tentu saja dalam spektrum memandang bahwa dia adalah anak dan dia masih punya hak yang kita sebut perlakuan khusus,” jelas Junito.
Baca juga: Tersangka Penggunaan Petasan di TN Komodo Diancam Lima Tahun Penjara
Junito juga berpendapat, orang dewasa yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak sudah cukup menjadi syarat untuk menghapus hak remisinya. Hal ini demi ketegasan dalam penegakan hukum dalam kasus tindak pidana kekerasan seksual.
“Cukup satu syarat saja. Dia orang dewasa dan dia melakukan kekerasan seksual kepada anak, maka saya setuju kalau dia tidak mendapatkan remisi. Ini kan masalah legal, jadi pijakannya legal juga, bahwa kasus anak adalah delik khusus. Tindak pidana khusus. Karena itu dia punya UU Perlindungan Anak yang mengatur mekanisme perlindungan anak, termasuk kaidah pidananya,” jelas dia.
“Tapi kekhususan yang sama juga harus dipertimbangkan ketika pelakunya anak. karena pelakunya anak, katakan seorang anak berusia 17 tahun melakukan kekerasan kepada anak lain, dia sudah menjalani hukumannya secara pidana, dan kalau dipertimbangkan baik buat anak itu untuk mendapat remisi, jadi dia bisa juga dapat remisi. Kacamatanya harus memakai kacamata tindak pidana khusus. Tapi yang diusulkan Bu Risma itu tidak bisa dipandang secara umum. Dia harus dipandang secara khusus,” tandasnya. (H-3)
UPAYA yang terukur untuk mewujudkan gerakan mengatasi kondisi darurat kekerasan terhadap perempuan dan anak harus segera direalisasikan.
KORBAN kekerasan dan kekerasan seksual hingga saat ini masih belum memperoleh jaminan pasti dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kasus ini bermula dari laporan seorang perempuan berusia 24 tahun yang mengaku menjadi korban kekerasan seksual oleh Achraf Hakimi di kediaman pribadi sang pemain di Paris.
Pendanaan pemulihan melalui peraturan ini hanya dapat diberikan setelah mekanisme restitusi dijalani, tetapi tidak ada batasan waktu yang tegas.
Dengan PP 29/2025 maka pengobatan korban kekerasan dan kekerasan seksual yang tidak tercover oleh program jaminan kesehatan nasional (JKN), bisa mendapatkan dana bantuan.
Iffa Rosita menegaskan pentingnya implementasi pedoman ini sebagai bentuk komitmen kelembagaan dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved