Jika Penanganan tidak Tepat, Bayi Prematur Jadi Penyumbang Stunting Terbesar

Basuki Eka Purnama
26/7/2022 09:00
Jika Penanganan tidak Tepat, Bayi Prematur Jadi Penyumbang Stunting Terbesar
Nakes merawat dua bayi prematur dengan bobot di bawah normal di ruang NICU RSUD dr Iskak, Tulungagung, Jawa Timur.(ANTARA/Destyan Sujarwoko)

DOKTER Anak Konsultan Neonatologi Prof Rinawati Rohsiswatmo mengatakan bayi yang lahir dengan kondisi prematur bisa menjadi potensial penyumbang stunting terbesar apabila tidak ditangani secara tepat.

"Bayi prematur memang belum waktunya, belum siap. Ini kalau tidak ditangani dengan benar, dia akan menjadi potensial penyumbang stunting terbesar," kata dokter lulusan Universitas Indonesia itu dalam sesi media gathering secara virtual, Senin (25/7).

Studi mengenai 137 negara berkembang yang dipublikasikan di jurnal PLOS Medicine menyebutkan sebanyak 32,5% kasus stunting disebabkan oleh kelahiran prematur. 

Baca juga: Majalengka Tetap Prioritaskan Penanganan Stunting

Sementara itu, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018 menunjukkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) memengaruhi sekitar 20% terjadinya stunting di Indonesia.

Rina mengatakan bayi dengan kelahiran prematur dan BBLR masuk ke dalam bayi yang berisiko tinggi mengalami stunting.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bayi prematur terjadi karena pertumbuhan janin yang lebih lambat jika dibandingkan pertumbuhan normal saat masih di dalam kandungan. 

Namun, apabila bayi prematur masih mampu bertahan hidup dan ditangani secara baik dan benar, bayi tersebut dapat terhindar dari risiko stunting.

Bayi prematur kemungkinan besar akan mengalami BBLR. Namun sebaliknya, BBLR belum tentu dikatakan sebagai bayi prematur. 

Bayi prematur dilihat dari waktu kelahiran dengan usia gestasi kurang dari 37 minggu, sementara BBLR dilihat dari berat lahir yang kurang dari 2.500 gram tanpa memandang usia gestasi.

"Di Indonesia dan beberapa negara berkembang dengan permasalahan pada bayi bisa saja lahir cukup bulan tetapi (tubuhnya) kecil sehingga kita sebut bayi itu BBLR," kata Rina.

Rina menjelaskan risiko stunting dapat terjadi ketika bayi masih berada di dalam kandungan. 

Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Food and Nutrition Bulletin pada 2009 menyebutkan 20% kejadian stunting sudah terjadi sejak saat kehamilan sementara 80% terjadi setelah kelahiran.

"Jadi bisa kita cegah yang 80 persen itu. Ada bayi yang tidak tumbuh di dalam kandungan, masih bisa kita kejar (pertumbuhannya setelah kelahiran). Tapi ada juga bayi yang lahirnya bagus, lalu tidak diurus dengan benar (setelah kelahiran)," kata Rina.

Oleh sebab itu, Rina menekankan pentingnya pemantauan tumbuh dan kembang anak pada 1.000 hari pertama kehidupan dimulai sejak dalam kandungan (270 hari) hingga anak berusia dua tahun (730 hari). 

Rina mengatakan orangtua juga harus tetap memantau anak setelah usia dua tahun sehingga tumbuh-kembang bisa optimal.

Rina mengatakan stunting sebaiknya jangan dilihat dari tanda fisik, melainkan diidentifikasi melalui perkembangan grafik yang menyeluruh pada buku kesehatan ibu dan anak (KIA) atau buku KIA Khusus Bayi Kecil bagi BBLR. 

Sebab itu, Rina mengajak agar para orangtua dapat memahami bagaimana cara mengukur, menimbang, hingga membaca grafik yang tepat sehingga stunting bisa dicegah.

"Stunting itu bukan dilihat pakai mata, tapi harus dideteksi secara aktif. Jadi, apa boleh buat," ujarnya.

Rina mengatakan stunting memiliki dampak yang berbahaya, salah satunya terkait dengan perkembangan kecerdasan intelektual (IQ). Mengingat hal tersebut, ia juga menekankan pentingnya orangtua bersama tenaga kesehatan melakukan pengukuran antropometri pada lingkar kepala.

Ia menambahkan periode hingga anak berusia dua tahun itu merupakan periode emas untuk pertumbuhan otak. Sebesar 83% dari total volume otak dewasa tumbuh di usia dua tahun, jelasnya.

Selain lingkar kepala, pengukuran juga diperlukan pada berat badan dan panjang badan sehingga tumbuh-kembang anak bisa optimal. Pengukuran tersebut harus mengikuti pedoman buku KIA.

"Kalau masih malas juga, sebenarnya ada yang namanya aplikasi Pradini. Untuk bayi cukup bulan ada Primaku. Itu sudah dimasukkan oleh Menteri Kesehatan, ibu-ibu bisa ikut aplikasi itu, masukkan (hasil pengukuran) kalau males bawa-bawa buku," pungkasnya. (Ant/OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya