Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
MENJELANG sore di Bali, Lidya Rinaldi menyapa dengan ramah dari balik layar monitor komputer. Di belakangnya, ada tanaman menjalar dengan daun menjuntai berwarna hijau. Lidya tampak begitu semringah, seperti ingin mengenalkan ke orang yang baru ditemuinya kalau tanaman yang ada di belakangnya itu ialah vanili (vanila). Tanaman yang biasanya biji harumnya dikeringkan untuk dijadikan sebagai salah satu bahan makanan.
Perkenalan intens Lidya dengan tanaman vanili terjadi pada 2015. Ketika itu, dia yang bekerja di salah satu hotel di Bali punya hobi membuat roti di sela-sela kesibukannya. Biasanya Lidya mendapat resep dari acara di televisi. Di salah satu episode tayangan kesukaannya, Lidya mendapat resep untuk membuat kukis. Ia kemudian bergegas ke toko bahan kue untuk mendapat bahan bakunya. Sayangnya, ada satu yang tidak terpenuhi, yaitu ekstrak vanila. Ketika ketemu, malah mengandung alkohol dan itu bertentangan dengan keyakinannya.
Ia pun lalu bereksperimen membuat ekstrak vanilanya. Ketika berhasil, Lidya lalu mencoba lagi dan lagi. Sampai akhirnya dia mampu memberikan ekstrak vanila bikinannya ke para tamu dan kolega hotelnya.
Karena sambutan dari para penerima bingkisan Lidya cukup positif, ia kemudian disarankan beberapa teman dan saudaranya untuk memproduksi ekstrak vanila dengan tujuan dijual. Selama 2015 itu pun Lidya mengambil kursus dan beruji coba. Selain itu, ia menemukan kenyataan adanya krisis vanili di pasaran. Peristiwa yang disebut terakhir itu pula yang membuatnya harus bertandang ke Jawa Timur untuk mencari petani vanili.
Barulah pada 2016 La Dame in Vanilla resmi menjadi merek dagang ekstrak vanila Lidya. Ketika itu, Lidya juga masih bekerja di hotel. Dari yang mengajukan pengunduran diri tidak diizinkan dan hanya diperbolehkan untuk bekerja setengah hari, sampai nego bekerja dari rumah dan sepekan sekali. Namun, Lidya pun berkeras untuk tetap mengundurkan diri karena bisnis sampingannya itu sudah mulai memperlihatkan geliat. Pada 2016, setidaknya La Dame in Vanilla sudah memproduksi 10 liter per bulan atau sekira 114 liter per tahun.
“Walau cukup sedih, pada tiga bulan pertama enggak ada yang beli. Sudah bikin banyak dan ya waktu itu sayang tabungan juga. Walau sedih, aku punya keyakinan bisnis ini akan besar. Karena selain untuk menggalakkan produk yang memang asli Indonesia, aku concern pada produk halal. Ide bisnis ini kan lahir dari masalah yang aku hadapi awalnya,” terang pemilik merek ekstrak vanila La Dame in Vanilla ini kepada Media Indonesia melalui konferensi video, kemarin.
Momentum pandemi
Selama kurun setahun berjalan, Lidya masih menangani semua sendiri. Mulai produksi, pengemasan, hingga unggah foto di media sosial. Sampai kemudian Lidya butuh bantuan tenaga lebih, yang membuatnya merekrut beberapa karyawan pada 2018-2019. Pada 2019, ketika itu La Dame in Vanilla sudah memproduksi sekitar 1.000 liter setahun.
“Puncaknya itu saat pandemi 2020. Aku merasa bisnis UKM yang bersentuhan dengan agrikultur dan produk gaya hidup sehat meningkat. Soalnya selama pandemi orang sudah concern ke produk kesehatan. Nah, kompetitor yang jadi head to head kami itu kan vanila artifisial, sedangkan kami vanila asli,” kata Lidya.
Pada 2020, La Dame in Vanilla memproduksi sekitar 3.000 liter (dalam jumlah 51 ribuan botol). Sementara itu, pada 2021, meski sedikit menurun, La Dame in Vanilla masih mampu membukukan angka produksi di 43 ribuan botol.
Secara omzet pun meningkat. Jika pada 2016 saat awal memulai Lidya masih membukukan angka Rp10 juta per bulannya atau Rp100-an juta dalam setahun, skala omzetnya terkerek seiring berjalannya waktu. Dari Rp150 juta, lalu Rp300 juta per tahun, hingga pada 2019 mencapai titik Rp1,2 miliar setahun.
Saat ini, pasar La Dame in Vanilla masih didominasi dari sisi b2b (business to business) bila dibandingkan dengan ritel dengan skala perbandingan 70:30. Sementara itu, untuk pasar ekspor juga demikian. Hingga saat ini, Lidya pun mengaku akhirnya harus menggugurkan idealismenya soal ekspor.
“Di sisi lain, kami juga butuh cuan. Karena tidak cuma menghidupi sendiri, tapi juga para petani. Mereka itu akar kami. Dengan penjualan yang baik, pendapatan mereka juga baik. Jadi untuk ekspor masih white label. Kami produksi ekstrak vanila halal, mereka repack dengan label sendiri. Karena untuk berkompetisi dengan merek luar butuh banyak sertifikasi.”
Sementara itu, sertifikasi juga memerlukan biaya yang tidak sedikit dan di tahap ini bisnis Lidya belum mampu untuk mengakomodasinya. Sebab itu, ia pun berharap pemerintah mau melirik dan mendukung yang dibutuhkan merek dagangnya.
“Yang kami butuhkan adalah semacam paling tidak sertifikasi, perizinan dipermudah.”
Kreator konten
Untuk kebutuhan branding digital, Lidya turun tangan langsung mengulas dan memberikan panduan konten yang sesuai dengan mereknya. Salah satu yang digarisbawahi, dalam kampanye di media sosial, dia ingin merek La Dame in Vanilla bukan cuma jualan.
“Konten di media sosial itu harus punya manfaat. Di Instagram, misalnya, orang juga harus bisa cari informasi. Makanya di konten kami karena dekat dengan bahan kue, kami bikin konten resep, cara pakai vanila, manfaatnya apa, seperti itu,” papar Lidya.
La Dame in Vanilla juga rajin menggaet kreator konten yang punya spesifikasi di konten gaya hidup sehat dan kuliner. Biasanya, setiap bulannya selalu ada kreator yang diajak bekerja sama. Rerata, patokan harga yang dikeluarkan untuk menggaji mereka berkisar di angka Rp2 juta.
“Pengin sih endorse Farah Quinn, tapi Rp60 jutaan, enggak sanggup kami, ha-ha,” kelakar Lidya.
Sementara itu, untuk mendukung kebutuhan konten kreatif, La Dame in Vanilla kini juga memiliki dapur yang berfungsi sebagai studio. Selain itu, dapur tersebut juga dimanfaatkan untuk kelas lokakarya.
“Kalau beli printilan dapur sih lumayan ya. Tapi kami dapat sponsor. Bukan dari pemerintah, melainkan dari salah satu merek peralatan memasak. Jadi saat ini kami kerja sama dengan salah satu merek yang menyediakan mixer, kompor portable, oven. Pokoknya hampir semua kebutuhan baking kami dibantu untuk keperluan pembuatan konten dan mendukung untuk kelas baking,” jelas Lidya.
Selain menjual produk ekstrak vanila, La Dame in Vanilla juga membuka kelas. Namun, untuk saat ini masih dijadikan sebagai side revenue dan belum menjadi prioritas.
Penetrasi asuransi masih rendah di kisaran 1,4%-2,7%. Kesenjangan perlindungan tetap menjadi tantangan besar, terutama di daerah perdesaan dan terpencil.
Transcosmos Indonesia (TCID), penyedia layanan omni channel contact center dan digital marketing, merayakan 12 tahun kiprahnya di Indonesia.
ADA sejumlah tantangan digitalisasi yang dihadapi oleh dewan kemakmuran masjid (DKM), seperti belum optimalnya pemanfaatan website dan terbatasnya literasi digital pengurus DKM.
DI tengah dunia yang semakin sibuk dan bising, kemampuan untuk mendengarkan menjadi keterampilan yang makin langka dan sering kali diabaikan.
Langkah ini merupakan strategi Aleph untuk memperkokoh posisi sebagai pemimpin transformasi digital yang menghubungkan pasar global dengan kawasan Asia Pasifik.
Salah satu langkah strategis yang kini mulai diadopsi adalah penggunaan barcode atau QR code sebagai identitas digital untuk menjamin keaslian barang.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved