PANDEMI berdampak pada sejumlah target lingkup kesehatan Indonesia, dimana semua individu bisa mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkan tanpa adanya masalah terkait keuangan. Pada kepesertaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), wabah Covid-19 ini rupanya mengakibatkan kenaikan jumlah peserta JKN tidak aktif.
Artinya, bila dahulu peserta JKN aktif membayar iuran, begitu pandemi datang, mereka tidak membayar iuran. Tren ini sejak Maret 2020 hingga Agustus 2021, signifikan turun dari 16,79 juta peserta aktif menjadi 14,06 juta. Sedangkan pada peserta JKN tidak aktif jumlahnya naik dari 13,46 juta menjadi 17,02 juta.
"Kejadian ini ditemukan pada kelompok pekerja penerima upah di sektor swasta. Ini terjadi bisa karena pekerja menjadi tidak bekerja (di PHK). 'Pengemplangan' ini juga terjadi pada pekerja bukan penerima upah (PBPU), tren peserta tidak aktifnya naik," kata Anggota Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) – Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Budi Hidayat, dalam Focus Group Discussion (FGD) Bersatu Lawan Covid-19 "Pertumbuhan Ekonomi dan Pentingnya Kesehatan: Refleksi 2021 dan Proyeksi 2022", Selasa (28/12).
Kemudian, pola utilisasi akibat Covid-19, dia katakan, sejak 2016–2019, akses permintaan pelayanan Program JKN berada dalam kondisi normal, dengan indikator indeks 1. Kemudian begitu Covid-19 masuk, sejak Maret 2020 kecenderungannya permintaan akses layanan turun, dengan drastis mendekati 0,5 di Mei 2020 dan dalam kondisi di bawah indeks dasar sepanjang 2020. Ini terjadi karena mobilitas masyarakat juga melambat.
Kemudian mulai Januari 2021–Mei 2021, data menunjukan ada kenaikan utilisasi JKN, dan rebound di atas level dasar indeks pada April 2021 pada indeks level 1,2. Diproyeksikan hingga akhir 2021 pola angka pengguna layanan kesehatan pada anggota peserta JKN akan tetap di atas baseline.
Demikian pula akses terhadap layanan puskesmas, tren layanan fasilitas kesehatan tingkat pertama, serta layanan ibu dan anak (KIA), turun mulai Mei 2020. Ini terjadi khususnya layanan imunisasi dasar, penbangan anak di bawah 5 tahun, dan pemeriksaan ibu hamil dan bayi baru lahir.
Pola yang sama terjadi di regional Asia. Sekitar 9,5 juta perempuan kehilangan akses kontrasepsi, 2,7 juta aborsi tidak aman, 11 ribu kematian terjadi di seluruh Asia Selatan. Kehamilan tidak diinginkan terjadi sebanyak 7 juta kasus merujuk data Dana Penduduk PBB (UNFPA), dengan Asia Selatan menyumbang lebih dari setengahnya (3,5 juta). Ini berkontribusi pada tambahan kematian anak 228.000 pada tahun 2020 di Asia Selatan.
"Ini terkait, ada stigma ketika akan menggunakan layanan kesehatan, khawatir terinfeksi, berinteraksi dengan orang-orang yang berpotensi penularan virus," kata Budi. (H-2)