Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Menata Kesengkarutan Kebun Sawit di Hutan

Hero Marhaento
04/11/2021 06:25
Menata Kesengkarutan Kebun Sawit di Hutan
Kebun bibit desa penyuplai kebutuhan jangka benah.(Dok. Tim Strategi Jangka Benah Fak. Kehutanan UGM)

SEKITAR 40 petani sawit dari Jambi dan Kalimantan Tengah terlihat antusias mengikuti Sekolah Jangka Benah (SJB) perdana yang diadakan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, pertengahan Juni lalu. Mereka aktif berdiskusi dan menyampaikan masukan tentang masalah yang dihadapi.

Selain menerima materi di dalam kelas, para peserta menjalani kegiatan lapangan berupa studi ke agroforestri sawit di Cempaga Hulu, kebun bibit desa (KBD), serta demonstration plot (demplot) SJB di Desa Karang Sari, Parenggean, Kotawaringin Timur. Kegiatan itu juga diikuti staf pemerintah daerah dan pusat.

Pihak UGM telah membuat SJB yang dapat diikuti semua pihak. Tempat pembelajaran itu mengajarkan tiga keahlian utama, yakni kompotensi dasar, inti, dan minat, seperti teknik silvikultur, perhutanan sosial, dan resolusi konflik. Sejauh ini, sudah 90 petani binaan UGM yang menerapkan konsep jangka benah.

Sistem jangka benah merupakan solusi penyelesaian ketelanjuran kebun rakyat dan korporasi (sawit) di dalam kawasan hutan. Hal itu juga diamanatkan dalam PP No 23 dan 24 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri LHK No 7, 8, dan 9 Tahun 2021.

Sistem itu bertujuan mengubah kebun kelapa sawit monokultur menjadi kebun campur sawit dalam bentuk agroforestri. Tujuan lainnya meningkatkan struktur dan fungsi ekosistem agroforestri kelapa sawit sehingga menyerupai hutan alami (close to nature).

 

Memberikan solusi

Tidak dimungkiri minyak sawit ialah komoditas unggulan penopang ekonomi nasional dan mata pencaharian masyarakat di perdesaan. Sejak 2008, Indonesia telah menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia. Industri itu penyumbang terbesar devisa negara yang mampu memberikan 17 juta lapangan kerja baik langsung maupun tidak langsung.

Namun, booming ekonomi kelapa sawit telah memicu persoalan lain, yakni masalah ekologi yang dipermasalahkan berbagai pihak di dalam dan di luar negeri. Ekspansi kebun kelapa sawit, terutama ke dalam kawasan hutan, dituding sebagai penyebab utama terjadinya deforestasi.

Masalah itu mengancam habitat berbagai tumbuhan dan satwa liar, meningkatnya frekuensi bencana banjir dan kekeringan, dan kebakaran hutan dan lahan yang dampak asapnya dirasakan hingga di negara tetangga (transboundary haze pollution).

Tudingan tersebut bukan tanpa alasan. Pada 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi, berkolaborasi dengan berbagai lembaga, merilis data tutupan tanaman kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,8 juta hektare. Auriga Nusantara menyebutkan sekitar 3,4 juta hektare (20,2%) di antaranya berada di dalam kawasan hutan dan statusnya ilegal. Itu termasuk kebun sawit yang dikelola perusahaan dan masyarakat, tersebar dari Sumatra, Kalimantan, hingga Papua.

Upaya pemerintah untuk mengatasi konflik agraria atas ‘ketelanjuran’ kebun sawit tersebut sedari awal belum benar-benar menemukan solusi terbaik. Pendekatan peraturan atau hukum yang digunakan pemerintah lebih bersifat koersif. Jika itu dikedepankan, dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik terbuka dengan masyarakat.

Perhutanan sosial dan reforma agraria yang digaungkan pemerintahan Presiden Joko Widodo berusaha mengurai persoalan tersebut. Seperti skema pelepasan kawasan hutan atau pemberian izin kelola kepada kelompok masyarakat petani hutan melalui izin perhutanan sosial.

Namun, berbagai peraturan yang ada belum mengakomodasi keberadaan kebun sawit dalam kawasan hutan. Padahal, persoalan kebun rakyat di kawasan hutan itu sebagian besar ialah kebun sawit.

 

Konsep jangka benah

Kesengkarutan persoalan kebun sawit di kawasan hutan yang berkepanjangan memicu Fakultas Kehutanan UGM untuk turut berpikir mencarikan solusinya. Sejak 2018, tim kecil yang dibentuk mengadakan berbagai diskusi multipihak dan lintas disiplin untuk mencari solusi terbaik.

Pada akhirnya, tim tersebut menyusun kertas posisi yang rilisnya dilaksanakan saat Dies Ke-55 Fakultas Kehutanan UGM. Istilah jangka benah sebagai alternatif solusi persoalan kebun sawit rakyat di kawasan hutan mulai dikenalkan perdana pada kertas posisi tersebut.

Bagi rimbawan, istilah jangka benah bukan hal yang baru karena diterapkan pada pengelolaan hutan Jati di Jawa di awal abad ke-20. Pada masa itu, jangka benah merupakan periode waktu untuk membenahi kondisi hutan produksi yang mengalami penurunan produktivitas.

Dengan landasan filosofi yang sama, konsep jangka benah itu coba diterapkan pada kawasan hutan yang rusak akibat ekspansi kebun kelapa sawit. Konsep yang diperbarui itu diartikan sebagai periode waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki struktur dan fungsi ekosistem hutan yang rusak tersebut. (Dro/Hym/X-6)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya