Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Ada Harapan Baru bagi Sineas Muda

Nike Amelia Sari
23/9/2021 06:40
Ada Harapan Baru bagi Sineas Muda
Aktris Prilly Latuconsina(Dok. FFI)

PADA perhelatan Festival Film Indonesia (FFI) tahun ini, Prilly Latuconsina, 25, mendapat kesempatan bersama tiga aktris dan aktor muda lain untuk menjadi duta festival. Pemilihan mereka tentu bukan alasan. Bisa jadi pertanda regenerasi berjalan pada industri perfilman kita.

Berbincang dengan Muda, via konferensi video, Jumat (17/9), perempuan yang belum lama lulus sarjana dengan predikat cumlaude itu mengungkapkan bahwa FFI 2021 membuka harapan baru untuk para sineas muda. Prilly juga berbicara tentang pembajakan, peran perempuan pekerja film, hingga pengalamannya menjadi produser untuk kali pertama. Berikut petikannya.

 

Sebagai duta FFI tahun ini, tugas apa yang kamu lakukan?

Alhamdulillah kami menjadi perwakilan anak-anak muda, kami pengin kasih lihat bahwa anak-anak muda bisa punya kesempatan sama di FFI dan jadi bagian dari FFI. Apalagi, sekarang di FFI banyak sekali sutradara muda, produser muda. Kemarin, kalau lihat daftar 30 shortlist film yang terpilih di seleksi awal, banyak banget karya anak-anak muda.

Nah, menjadi tugas duta untuk memperlihatkan itu kepada publik dan memperlihatkan juga bahwa FFI selain mengapresiasi karya, juga menjadi bahan bakar untuk semangat anak-anak muda berkarya.

Banyak banget aktor muda berdatangan dan berpotensi. Jadi, aku sebagai duta ingin memperlihatkan kepada mereka walau kita masih muda dan mungkin sangat baru di dunia perfilman, kita punya kesempatan yang sama.

 

Ada isu tertentu yang menjadi fokus tiap-tiap duta?

Kami sebagai duta bekerja bersama, menyatukan pikiran. Yang pasti, kami harus tahu dahulu apa alasan kami dipilih. Dengan begitu, kami jadi tahu visi sebagai duta FFI tahun ini. Lalu, bagaimana kami menjalankan misi kami untuk mencapai visi tersebut dengan membuat desain-desain posting yang lebih relate sama anak muda. Kami juga menggunakan media sosial baru. Tadinya FFI belum punya Tiktok, sekarang FFI sudah punya.

FFI sangat membebaskan kita untuk explore konten apa yang kita buat untuk FFI selagi masih pada jalurnya dan kita juga rutin live di Instagram. Dengan begitu, platform yang kita punya akan maksimal penggunaannya karena tidak hanya posting konten saja, tapi juga live interaction sama followers kita bicara soal FFI.

 

Tema FFI tahun ini terkait dengan media baru. Seperti apa pengaruh kehadiran berbagai platform digital saat ini terhadap perkembangan industri perfilman nasional?

Sangat memengaruhi sekali. Film Indonesia bisa bangkit lagi dan kita bisa berkarya lagi. Makanya, aku meneliti ini di skripsi aku, bagaimana industri film ini bisa bangkit lagi karena adanya OTT platform yang masuk ke Indonesia.

Aku senang banget karena FFI 2021 melihat itu. Tanpa adanya media baru, kita mungkin enggak berkarya karena enggak tahu mau ditayangkan di mana. Dengan adanya media baru, alhamdulillah sudah banyak film-film yang ditayangkan di (platform) digital, bisa dinikmati publik, eksekutif produser, dan produser, semuanya sama-sama untung, sama-sama senang akhirnya mereka bisa berkarya lagi.

Sekarang pun bioskop buka, penonton tetap harus berjarak, masih banyak yang takut dan sudah terbiasa dengan perilaku saat lockdown, jadi media baru ini sebagai solusi masa depan industri film.

 

Di sisi lain, platform digital juga tidak bebas dari pembajakan. Bagaimana kamu melihat kondisi pembajakan film dewasa ini?

Aku mengalami karya aku dibajak. Waktu aku main series, belum tayang series-nya, tapi di salah satu aplikasi pembajakan, mereka sudah siapkan akun untuk posting tayang tersebut.

Di Youtube juga tiba-tiba di-posting full episode atau di Tiktok di-posting part one sampai part ten adegannya. Memang parah banget. Jujur, untuk saat ini aku tidak melihat solusi yang bisa memberi perubahan signifikan karena untuk membajak satu karya sangat mudah sekarang.

Jadi, yang aku dan teman-teman bisa lakukan ialah membangun kesadaran ke penonton supaya tidak nonton bajakan. Lebih baik menonton di platform legal dan sekarang sudah banyak yang gratis, daripada nonton bajakan. Sudah kuota habis, kualitas juga enggak bagus.

Kalau boleh jujur, (pembajakan) lebih memburuk karena platformnya juga berubah. Dahulu, orang kalau mau membajak film, harus ke bioskop dulu, harus effort ke luar rumah, beli tiket, menonton, dan enggak mungkin hasilnya bagus karena harus rekam dari apa yang mereka tonton. Sekarang enggak perlu usaha, menonton di aplikasi, terus screen record.

 

Menurut kamu, banyak yang belum paham?

Aku sering banget live Instagram atau marahin orang yang menonton bajakan, terus mereka marahin aku balik, mereka bilangnya begini, "Ya, kan, yang penting kita nonton karya kamu. Kan, kamu pengin, kan, karyanya ditonton, yang penting kan kita nonton, kenapa sih enggak boleh nonton bajakan."

Jadi, mereka enggak mengerti kalau mereka menonton bajakan, bisa mematikan industri ini. Misalnya, kita menonton di platform A, nih, tiba-tiba enggak ada yang menonton di platform A dan malah menonton di bajakan. Nah, platform A enggak akan mau menerima konten dari kita dan enggak akan mau menayangkan series dari kita lagi karena mereka rugi, enggak ada yang menonton di dia.

Ini yang harus terus-menerus dikasih tahu ke publik. Jadi, pelan-pelan mengedukasi mereka bagaimana sistem film ataupun series di media baru untuk tahu kalau mereka menonton bajakan malah merugikan industri ini.

 

Perfilman kerap dipandang sebagai industri yang didominasi lelaki. Bagaimana kamu melihat representasi perempuan di industri perfilman kita?

Aku mulai berkarier di umur 13 tahun dan sejak itu sampai sekarang, aku memang melihat kru, sutradara, atau produser, kebanyakan laki-laki sehingga aku melihat perempuan akan membatasi dirinya dalam berkarya karena melihat dunia film ini merupakan lapangannya laki-laki.

Namun, aku berterima kasih banget sama Kak Reza Rahadian dan FFI 2021 karena tim yang ia buat itu kebanyakan perempuan, terus karya perempuan dilihat, produser perempuan dilihat.

Jadinya, kita sebagai perempuan yang mungkin baru di dunia film mempunyai harapan, oh, ternyata enggak laki-laki saja yang punya kesempatan, ternyata perempuan juga bisa.

 

Menurut kamu, bagaimana agar industri perfilman menjadi tempat yang lebih ramah bagi perempuan pekerjanya?

Isu sekarang yang sering terjadi kalau misalkan perempuan kerja di lingkungan yang kebanyakan laki-laki, pasti dia akan ada perasaan takut dianggap lebih rendah, lemah, atau sexual harassment di lokasi. Nah, aku sebagai produser benar-benar sangat tegas mengingatkan semuanya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk saling menghargai, saling mengapresiasi. Kualitas diri atau pengalaman atau apa pun itu tidak bisa diukur dengan gender.

Kemarin, kru-kru aku banyak juga yang perempuan, semua astrada--asisten sutradara--itu perempuan, terus dua produser perempuan, produser eksekutifnya juga ada yang perempuan.

Sebenarnya, kita perlu saling mengingatkan dan mengedukasi karena di lingkungan atau industri apa pun banyak banget cowok yang enggak tahu bahwa catcalling atau ngegoda-godain cewek itu termasuk sexual harassment. Nah, ini terus diedukasi di lapangan kerja.

 

Untuk film Kukira Kau Rumah, kamu memang ingin memberi peluang untuk para perempuan bergabung dalam pembuatan film ini?

Iya, pasti. Selain itu, aku memberikan kesempatan untuk semua yang punya talenta luar biasa tanpa followers. Karena industri kita ini luar biasa maju sekali, ada downside berupa adanya tolok ukur seseorang bisa atau enggak itu (dilihat) dari jumlah followers. Padahal, kualitas diri atau talent itu enggak bisa ditentukan dengan jumlah followers.

Di Kukira Kau Rumah, aku pilih pemain-pemain yang talentanya luar biasa meski saat itu belum punya digital asset besar. Jourdy Pranata, co-star aku, waktu itu followers-nya belum sampai 100 ribu, tapi aku beri dia kesempatan karena aktingnya bagus banget. Shenina dan Raim juga. Raim ialah stand up comedy, tapi talenta aktingnya luar biasa, jadi aku kasih dia peran yang agak beda. Biasanya, dia dikasih peran yang ada komedi saja.

Jadi, di Kukira Kau Rumah ini, visi aku agar orang punya harapan baru. Kita yang talenta besar, tapi digital asset tidak besar, bisa kok mendapat film bagus. Begitu juga kita yang biasa dilihat orang di komedi, bisa kok main di drama, asalkan punya persiapan bagus dan belajar terus.

 

Film Kukira Kau Rumah ialah proyek pertama kamu sebagai produser. Apa yang memotivasi kamu?

Pertama, aku pengin ngasih kesempatan ke diri aku untuk mendapatkan peran ini. Pengin banget dapat peran ini, tapi enggak ada yang percayakan, ya, sudah gue bikin sendiri. Namun, aku juga enggak tiba-tiba jadi produser. Aku belajar dahulu gimana cara jadi produser, bagaimana menghitung bujet, memilih kru, mengembangkan cerita. Terus, kalau ada investor, gimana kita menjaga dana itu untuk cukup buat satu film.

Aku yang tadinya enggak tahu harga grading, editing, scoring, itu jadi aku urusin, termasuk harga pemain. Akhirnya, jadilah Kukira Kau Rumah yang prosesnya panjang. Setahun yang kita benar-benar yakin ini, kita mau syuting enggak nih, terus kita juga riset apa benar ini isi yang mau kita angkat di film.

Kedua, aku juga pengin banget mengangkat isu tentang mental health. Cuma kita enggak bisa nunggu PH--production house--untuk ngasih isu itu, karakter itu. Menurut aku, kalau kita menggunakan film sebagai kendaraan kita untuk menyampaikan informasi, itu sangat efektif. Orang suka menonton film dan di dalam film ada pesan yang bisa mereka dapat.

 

Seperti apa tantangan menjadi produser untuk pertama kalinya?

Mungkin jika tidak menjadi pemain akan lebih mudah, tapi di sini aku juga menjadi pemain. Nah, diproduksi aku, setiap malam kami melakukan evaluasi produksi karena aku ingin menciptakan lingkungan yang aman untuk perempuan dan lingkungan yang nyaman untuk para pemain. Bayangin, sudah capek habis stage sampai pagi dan peran aku juga sebagai perempuan yang didiagnosis bipolar disorder, jadi sudah intens banget emosinya sebagai aktor, lalu malamnya aku harus evaluasi produksi. Jadi, pikirannya jadi bercabang banget.

 

Untuk mendalami peran Niskala, seperti apa riset yang kamu lakukan? 

Aku selain riset dari buku, dari psikolog juga. Kami juga bekerja sama dengan Bipolar Care Indonesia. Jadi, banyak banget menerima insight dari mereka, bipolar itu apa, tipe-tipenya ada berapa, kalau karakter si Niskala ini berarti tipe apa, nih. Selain itu, reading lumayan lama dan reading-nya juga bersama acting coach. Jadi, kami juga banyak melakukan metode-metode olah tubuh yang cocok sama aku.

 

Sebelum di film, kamu sudah banyak pengalaman berakting di layar kaca sejak kecil. Apa yang membuat kamu jatuh cinta dengan akting?

Itu sudah seperti panggilan, ya, I love acting so much. Aku awalnya learning by doing, aku lakukan dulu sambil belajar, "Gimana, ya, akting, apa akting itu, kok, bisa ya aktor lagi enggak ngerasain itu, tapi harus ngerasain itu untuk adegan." Akhirnya, karena memang aku pengin serius dan merasa passion aku di bidang akting, aku belajar sama acting coach. Dari situlah aku tahu kalau aku jatuh cinta sama akting. Ini merupakan profesi yang kayaknya akan aku enjoy lakukan sampai tua. Nah, dari situ, aku fokus di film dan belajar terus, belajar dari senior.

Jadi, setiap aku punya lawan main senior, itu aku senang banget karena aku bisa ambil ilmunya dia, bisa diajarin sama dia dan bisa melihat bagaimana dia di lokasi, ini juga menginspirasi aku sekali. Terus, aku juga gabung di organisasi perfilman,aku humasnya Parfi 56. Dengan begitu, aku bisa kumpul sama senior-senior yang luar biasa sama kakak-kakak yang juga membimbing aku.

 

Adakah sutradara yang kamu ingin sekali bisa bermain di filmnya?

Pertama, Pak Monty Tiwa, aku selalu pengin jadi bagian di filmnya walaupun satu scene. Itu karena beliau selalu memberikan aku karakter-karakter yang di luar logika atau di luar bayangan aku. Aku melihat bahwa Pak Monty bisa melihat betapa aku ingin bekerja keras untuk akting aku. Aku akan melakukan apa pun untuk karakter aku. Disuruh potong pendek, ayo, naikin berat badan, ayo, ngurusin, ayo. Aku melihat Pak Monty melihat itu di diri aku.

Ada juga satu sutradara yang belum pernah bekerja sama dengan aku, tapi karya-karyanya luar biasa dan melahirkan orang-orang luar biasa. Pastinya ketua dewan juri kita, Mas Garin Nugroho. Aku pengin banget bisa main di film-filmnya. Kami sering mengobrol, berdiskusi di Whatsapp, tapi belum rezeki untuk bermain di filmnya. Kemarin, ketika dia menawari, jadwal aku enggak bisa. Semoga tahun depan atau kapan pun itu bisa jodoh sama filmnya Mas Garin.

 

Di luar perfilman, kamu juga aktif berwirausaha, menjadi pembicara, penyanyi, dan berbagai aktivitas lain. Bagaimana kamu menyeimbangkan kehidupan kamu?

Aku cuma bilang, tolong disiplin untuk waktu kamu. Menurut aku, minute by minute itu berharga banget untuk aku kayak 10 menit aku bisa melakukan apa gitu yang memengaruhi pekerjaan aku. Jadi, disiplin dengan waktu aku dan jangan menunda-nunda pekerjaan.

Sekarang, alhamdulillah aku sudah agak senggang karena aku sudah lulus (kuliah). Kemarin, pas aku skripsi, aku juga launching tiga bisnis baru pada 2020, lalu menjadi produser. Itu sangat melelahkan.

Yang bisa aku omongin ialah disiplin sama waktu dan jangan menunda pekerjaan. Jadi, aku sudah menentukan bangun jam berapa dan melakukan apa. Kalau skripsi buat minggu depan, dikerjakan dari sekarang. Jadi, enggak pernah menunda pekerjaan dan buat jadwal untuk diri sendiri per harinya.

 

Bagaimana kamu menjaga kesehatan fisik dan mental di tengah kesibukan tersebut?

Aku lebih susah menjaga kesehatan mental, ya, karena jujur banget untuk memikul tanggung jawab yang sangat besar di umur segini, lumayan melelahkan. Jadinya, kerja, kerja, kerja, tapi kehidupan pribadinya enggak seimbang.

Kalau fisik, sih, sesederhana minum vitamin dan makan sehat. Alhamdulillah enggak pernah sakit gimana-gimana selama pandemi covid-19 ini, cuma mental health yang agak pusing. Jadi, aku ada momentum ketika itu 10 hari sekali konsultasi sama psikolog, terus melakukan art therapy juga. Jadi, di saat aku lelah, di saat mental aku lagi kenapa-kenapa, aku art therapy. Aku gambar apa yang aku rasakan atau aku tulis. Aku juga melakukan crystal healing, jadi aku mengoleksi kristal yang aku percaya memberikan energi untuk aku. Banyakin mengobrol sama orang yang kita percaya untuk sekadar numpahin apa yang kita rasakan. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya