Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
PEMERINTAH menargetkan proses ratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement) rampung sebelum penyelenggaraan Konferensi Global Perubahan Iklim (CoP22) November mendatang di Maroko. Hal itu dilakukan agar Indonesia termasuk sebagai negara yang menentukan pemberlakuan perjanjian global itu (entry into force).
Entry into force atau pemberlakuan Perjanjian Paris dapat terjadi bila 55 dari 175 negara yang menandatangani perjanjian itu pada CoP21 lalu melakukan ratifikasi. Diperkirakan, 55% penurunan emisi dunia bisa tercapai lewat negara-negara tersebut.
"Kalau kita masuk sebagai negara entry into force, kita akan memiliki posisi tawar lebih, bisa mendesak negara lain," ujar Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nur Masripatin saat ditemui di sela seminar Moving REDD+ Indonesia Forward di Jakarta, kemarin.
Akan tetapi, lanjut Nur, untuk meratifikasi Perjanjian Paris itu masih ada pekerjaan rumah berupa penjabaran emisi dari tiap sektor. Direncanakan, pengetatan emisi paling besar akan dilakukan di sektor energi dan kehutanan. Pasalnya, kedua sektor tersebut merupakan penghasil emisi paling besar di Indonesia.
"Sudah ada penghitungan dari tiap-tiap sektor. Hanya saja diperlukan hitungan yang realistis lagi, terutama penyesuaiannya dengan kebijakan pembangunan Indonesia ke depan," terang Nur.
Nantinya, hasil penghitungan itu akan dimasukkan ke dokumen ratifikasi dan komitmen kontribusi penurunan emisi nasional (NDC).
Nur optimistis semua langkah tersebut dapat diselesaikan sebelum CoP22. Terlebih, sudah ada dukungan dari DPR, terutama Komisi IV dan VII yang menjadi mitra kerja Kementerian LHK. "Diharapkan, ratifikasi yang nantinya akan diwujudkan dalam bentuk undang-undang akan mendapat kemu-dahan saat disidangkan di parlemen."
Produk ratifikasi itu sendiri nantinya serupa dengan dokumen Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi GRK (RAN-GRK) yang dimiliki Indonesia pada periode 2011-2019.
Pendanaan
Selain ratifikasi Perjanjian Paris, pembentukan badan pengelola dana perubahan iklim juga menjadi fokus pemerintah saat ini. Rancangan peraturan pemerintah mengenai pembentukan badan tersebut tengah disiapkan.
"Harus ada badan, supaya tidak seperti APBN yang penggunaan dananya ketat. Kalau ini, nantinya bisa lebih fleksibel," terang Nur.
Pada kesempatan sama, pakar perubahan iklim Indonesia Agus Sari menyatakan pendanaan tersebut sudah harus siap sebelum 2017. Pasalnya, di tahun itu, kegiatan REDD+ (pengurangan emisi akibat deforestasi) yang akan diberi hibah oleh Norwegia lewat kerja sama fase II dijadwalkan mulai berjalan.
"Kalau dengan Norwegia, kita baru dapat dana di akhir (program), setelah ada hasil. Indonesia perlu menyiapkan dana di awal untuk operasional kegiatan REDD+," jelasnya. (H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved