Penjualan Antibiotik di Apotek Harus Diawasi Agar tidak Terjadi Resistensi Bakteri

Atalya Puspa
11/8/2021 11:49
Penjualan Antibiotik di Apotek Harus Diawasi Agar tidak Terjadi Resistensi Bakteri
Petugas apotek melayani konsumen di Apotek Kimia Farma Padang, Sumatra Barat.(ANTARA/Muhammad Arif Pribadi)

BERDASARKAN penelitian yang dilakukan Universitas Gadjah Mada, Universitas Sebelas Maret, Kementerian Kesehatan Indonesia, Kirby Institute di UNSW Sydney, London School of Hygiene & Tropical Medicine, University College London, dan The George Institute for Global Health di UNSW Sydney, ditemukan masih banyak terjadi praktik pemberian antibiotika tanpa resep.

Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM Tri Wibawa mengatakan, dari hasil penelitian yang dilakukan, menunjukkan perlunya perhatian serius terhadap praktik penjualan antibiotik di apotek dan toko obat swasta.

Sebab, penggunaan antibiotik yang tidak bijak menjadi salah satu faktor munculnya resistensi bakteri terhadap antibiotik.

Baca juga: Kasus Positif Covid-19 Mingguan Turun 35%

“Penting melakukan kontrol terhadap peredaran antibiotik di masyarakat untuk menghindarkan ancaman resistensi bakteri terhadap antibiotik,” tuturnya dikutip dari laman resmi UGM, Rabu (11/8).

Pemimpin Penelitian dari Kirby Institute Virginia Wiseman mengungkapkan, melalui penelitian dalam kemitraan dengan Komite Pengendalian Resistensi Antibiotik (KPRA) yang berada di bawah Kementerian Kesehatan Indonesia, timnya melakukan penelitian dengan menggunakan mystery client untuk mengunjungi apotek dan toko obat swasta di Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Tabalong di Provinsi Kalimantan Selatan.

Pada saat kunjungan, mystery client akan memperagakan gejala-gejala penyakit dan mencatat apa saja yang terjadi di dalam interaksi.

Dalam penelitian tersebut, Virginia menyatakan tim melakukan 495 kunjungan ke apotek dan toko obat swasta. Adapun, dari 70% kunjungan, terjadi praktik pemberian antibiotik tanpa resep. Padahal, pemberian antibiotik tanpa resep merupakan hal yang dilarang dalam peraturan karena termasuk sebagai obat keras.

“Faktanya, pada lebih dari dua per tiga kunjungan ke apotek dan toko obat swasta di Indonesia diperoleh satu jenis antibiotik tanpa resep dan sering kali tanpa saran yang memadai dari tenaga kesehatan. Hal ini sangat memprihatinkan. Bahkan ada beberapa antibiotik lini kedua yang seharusnya hanya boleh diresepkan dalam keadaan yang sangat khusus,” urainya.

Adapun, hasil penelitian ini baru saja dipublikasikan oleh BMJ Global Health. Luh Putu Lila Wulandari, research fellow di Kirby Institute, yang juga penulis utama penelitian itu mengatakan komponen kualitatif dari penelitian ini membantu menjelaskan beberapa alasan mengapa apotek dan toko obat swasta menjual antibiotik tanpa resep. Salah satu alasan yang muncul adalah adanya tekanan dari pelanggan.

“Banyak yang merasa ditekan pelanggan,” ujarnya.

Kondisi tersebut dikatakan Luh Putu menunjukkan adanya kompleksitas dari persoalan praktik pemberian antibiotik tanpa resep.

Meskipun ada motivasi mencari keuntungan, pemberian obat-obatan tanpa resep ini dianggap sebagai norma. Dengan begitu ke depan perlu adanya perubahan peraturan dan budaya seputar pemberian antibiotik.

Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari Protecting Indonesia from the Threat of Antibiotic Resistance (PINTAR) dan didukung hibah dari Indo-Pacific Centre for Health Security (DFAT) di bawah Australian Government’s Health Security Initiative.

Dalam penelitian itu, tim PINTAR bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan strategi untuk meningkatkan penggunaan antibiotik di sektor swasta.

Salah satu peneliti Protecting Indonesia from the Threat of Antibiotic Resistance dari Universitas Sebelas Maret, Probandari, menyatakan, masalah resistensi antibiotik saat ini memang menjadi lebih rumit dengan adanya pandemi covid-19. Namun bukan berarti hal tersebut bisa diabaikan.

“Dalam banyak hal covid-19 telah memperberat masalah penjualan antibiotik secara bebas. Semakin banyak orang yang sakit atau takut menjadi sakit, serta mencoba mencari saran medis dan obat-obatan seperti antibiotik di mana pun,” jelasnya.

Menurutnya, perlu ada pendekatan dari berbagai aspek menghadapai persoalan pemberian antibiotik tanpa resep ini.

Banyak hal yang perlu dipertimbangkan mulai dari kebutuhan untuk memaksimalkan keuntungan oleh apotek dan toko obat swasta, tingginya permintaan antibiotik dari pelanggan, dan dorongan dari pemilik untuk bersaing dengan toko lain.

“Kabar baiknya adalah bahwa Kementerian Kesehatan Indonesia menjadikan hal ini sebagai prioritas dan mengalokasikan sumber daya untuk menemukan solusi,” tuturnya. (OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya