Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Mereka yang Dikalahkan Pandemi

Denny Susanto
06/8/2021 05:50
Mereka yang Dikalahkan Pandemi
Bantuan dan pelatihan bagi kelompok disabilitas di Kota Banjarmasin.(MI/Denny Susanto)

SORE itu hujan belum reda. Di dalam rumah sederhana, di salah satu gang di Kelurahan Kuin, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Hamsani, 45, bersiap menyantap makan malam bersama istri dan tiga anak mereka.

Suasana di dalam rumah sempit itu cukup gayeng meski yang mereka hadapi hanya nasi putih dengan tempe dan tahu sebagai penggugah rasa.

Mereka juga tidak terganggu dengan suara air hujan yang menembus atap rumah dan masuk ke beberapa ember terbuka yang disiapkan di ruangan yang sama.

Rumah keluarga Hamsani berada di sebuah gang kawasan padat penduduk. Menurut Hamsani, rumah itu merupakan warisan yang didapat sang istri dari orangtuanya.

Hamsani dan Marpuah, istrinya, ialah pasangan disabilitas tunanetra. Untuk menghidupi keluarga mereka, keduanya memilih profesi sebagai tukang pijat.

Mereka tidak perlu jauh-jauh melangkah. Pelanggan yang datang ke rumah itu ialah mereka memerlukan jasa keduanya. Untuk setiap pelayanan pijat refleksi ataupun tradisional, pelanggan dikenai tarif Rp50 ribu.

Hanya sejak pandemi covid-19 datang, jalan rezeki mereka nyaris terhenti. Adanya aturan jarak sosial membuat sumber penghasilan keluarga ini tersendat.

Sudah dua pekan, tidak ada orang datang ke rumah. Begitu juga panggilan ke rumah-rumah pelanggan.

Hamzani tanpa order. Sementara sang istri hanya beberapa kali mendapat panggilan memijat dari tetangga. Semata-mata karena iba dengan kondisi keluarga itu.

Persoalan menjadi runyam karena Hamsani dan sang istri tidak punya kebisaan lainnya selain memijat. "Dulu juga, sebelum pandemi, usaha jasa pijat tunanetra kami tidak ramai. Apalagi sekarang, dalam suasana wabah, hampir tidak ada yang mau menggunakan jasa pijat," ungkap Hamsani.

Namun, bapak empat anak dan keluarganya masih tertolong karena anak sulung mereka sudah bekerja. Meski sudah berumah tangga, ia sesekali datang membantu, terutama untuk biaya sekolah tiga adiknya.

Bantuan sosial, kata Hamsani, sangat jarang datang ke rumahnya. Yang terakhir, ia menerima bantuan sembako saat banjir pada awal tahun dan di awal pandemi.

 

Wadah tanpa tempat

Dengan kekurangannya, Hamzani diakui rekan-rekannya sesama disabilitas tunanetra memiliki pengetahuan dan kecerdasan lebih. Karena itu, belum lama ini, ia dipilih sebagai Ketua Persatuan Tunanetra Kota Banjarmasin.

Namun, tidak seperti ketua-ketua organisasi lain, kegetiran menjadi warna terbesar dalam perjalanan hidupnya. Ia tidak sendiri karena sebagian besar penyandang tunanetra di Kalimantan Selatan, yang berprofesi sebagai tukang pijat, juga bernasib sama.

Anggota organisasi yang tidak punya kemampuan seperti Hamzani dan istrinya harus turun ke jalan. Mereka bertahan hidup dengan menjadi pengamen atau pengemis.

Tidak hanya pemerintah yang dinilai belum berpihak kepada

kelompok disabiltas, masyarakat pun acap kali mengabaikan sehingga para penyandang tunanetra termarjinalkan. Banyak kasus kekerasan dialami para penyandang disabilitas. Hamzani juga pernah mengalaminya. Ia dirampok seorang tukang ojek dan ditinggalkan begitu saja di tengah jalan di tengah malam.

Sementara itu, penyandang tunanetra lainnya menceritakan masalah diskriminasi layanan oleh berbagai instansi. Mereka juga mengalami kesulitan mendapat kepercayaan ketika ingin menyewa atau mengontrak rumah. Pemilik rumah tidak percaya kemampuan mereka membayar cicilan. Ada juga yang khawatir rumah mereka bisa terbakar.

"Kami berharap ada komitmen pemerintah untuk perlindungan dan pemberdayaan kelompok disabilitas, termasuk tunanetra agar kami bisa mandiri," ujar Hamsani.

Pertuni Kota Banjarmasin saat ini terus mendorong agar pemerintah dapat membangun kantor sekretariat atau wadah bagi kelompok disabilitas untuk berkumpul dan mendapatkan pelatihan.

 

Masih tersisih

Sejatinya Provinsi Kalimantan Selatan telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perlindungan Masyarakat Penyandang Disabilitas. Namun, sejauh ini implementasinya masih jauh dari harapan. Indikasinya, kelompok ini masih menjadi masyarakat tersisihkan.

Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat Muhammadiyah Kalimantan Selatan Hesly Junianto mengungkapkan masih banyak kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan kepentingan para penyandang disabilitas atau orang berkebutuhan khusus seperti tunanetra dan lainnya.

"Kelompok disabilitas masih tersisih. Mereka perlu pemberdayaan agar dapat sejajar dengan orang-orang normal. Pada dasarnya mereka juga ingin mandiri," tuturnya.

Dia mengaku sudah empat tahun terakhir, Majelis Pemberdayaan Masyarakat Muhammadiyah konsen untuk memberdayakan kelompok disabilitas. Selain pelatihan keterampilan juga pembelajaran ilmu agama bagi mereka.

Perlindungan dan jaminan hak, lanjut Hesly, harus diberikan kepada seluruh warga negara, terutama bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas. "Selama ini para penyandang disabilitas kerap mendapatkan diskriminasi terkait dengan pemenuhan hak di bidang pendidikan, pekerjaan, fasilitas publik, tempat ibadah, tempat hiburan, serta kedudukan di mata hukum."

Di masa pandemi covid-19 nasib penyandang disabilitas semakin terpuruk. Sebagian dari mereka harus hidup bergantung pada belas kasihan orang lain. (N-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya