Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Perempuan Rentan Terjerumus Aksi Radikalisme dan Teroris

Suryani Wandari Putri Pertiwi
04/4/2021 01:55
Perempuan Rentan Terjerumus Aksi Radikalisme dan Teroris
Ilustrasi(Medcom)

AKSI terorisme di Gereja Kathedral, Makassar, Sulawesi Selatan dan  Mabes Polri, Jakarta melibatkan perempuan sebagai pelakunya. Hal itu menunjukkan perempuan rentan terjerumus dalam kegiatana terorisme dan radikalisme.

Hal itu diungkapkan Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati, Jumat (2/4). "Adanya fenomena peningkatan pelibatan perempuan dalam aksi radikalisme dan terorisme menunjukan perempuan lebih rentan terlibat dalam persoalan ini. Hal ini disebabkan karena faktor sosial, ekonomi, perbedaan pola pikir, serta adanya doktrin yang terus mendorong bahkan menginspirasi para perempuan, hingga mereka nekat melakukan aksi terorisme dan radikalisme,” ungkap Ratna.

Ia menambahkan kerentanan dan ketidaktahuan perempuan juga turut menjadi sasaran masuknya pemahaman dan ideologi menyimpang. Sehingga para perempuan kerap dimanfaatkan dalam aksi radikalisme dan terorisme.

"Keterbatasan akses informasi yang dimiliki dan keterbatasan untuk menyampaikan pandangan dan sikap, juga turut menjadi faktor pemicu. Disinilah pentingnya ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik untuk membangun karakter anak dengan menginternalisasi nilai-nilai sesuai norma hukum, adat, agama, dan budaya," jelasnya.

Lebih lanjut, Ratna menilai ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik, sangat dibutuhkan sebagai pondasi dan filter dalam pengasuhan anak di keluarga. "Apalagi dengan kemajuan teknologi dan informasi saat ini, serta bervariasinya modus-modus kejahatan baru. Karena itu orang tua harus bisa menjalin hubungan baik dengan anak, mengawasi dan mengontrol anak, memberikan edukasi, menerapkan pola komunikasi yang terbuka dan mudah dipahami, menerapkan pola pengasuhan dengan kesiapsiagaan, dan mendeteksi risiko karena banyak perempuan yang tidak tahu apa saja risiko yang akan ia hadapi, mengingat minimnya pengetahuan," terang Ratna.

Lebih jauh, Ratna mengatakan untuk menangani persoalan terorisme dan radikalisme, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri. Sinergi semua pihak baik civil society (masyarakat sipil) untuk bergerak secara masif dan berkelanjutan, jelas Ratna, diperlukan khususnya dengan melakukan sistem deteksi dini karena persoalan terorisme dan radikalisme ini merupakan tantangan besar dalam menghasilkan SDM berkualitas. (OL-15)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Widhoroso
Berita Lainnya