Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
ASSOCIATE Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta mengatakan diperlukan pemahaman yang komprehensif mengenai peran vaksin di antara sederet kebijakan pengendalian covid-19.
Dia mengatakan vaksin bukanlah pengganti melainkan pelengkap kebijakan pengendalian yang sudah ada. Komitmen pelaksanaan berbagai kebijakan ini justru menjadi lebih penting saat vaksin mulai diedarkan.
"Salah satu efek samping psikologis dari vaksinasi adalah menciptakan rasa aman yang palsu. Penerima vaksin bisa saja langsung melupakan protokol kesehatan begitu disuntik karena merasa sudah memiliki kekebalan. Padahal, vaksin butuh beberapa minggu untuk bekerja," kata Andree, melalui rilis yang diterima, Senin (11/1).
Baca juga: Vaksinasi Dimulai Pekan Depan, Jokowi Gencarkan Sosialisasi
Mempertimbangkan resiko ini, beberapa kebijakan pengendalian pandemi perlu segera diperhatikan seiring dengan digulirkannya vaksinasi. Di antaranya adalah peningkatan kapasitas pelacakan covid-19, pengetatan protokol kesehatan selama vaksinasi, dan meluruskan penggunaan tes cepat (rapid test) antibodi.
Andree melanjutkan vaksin covid-19 yang beredar sekarang ini kebanyakan memerlukan dua dosis terpisah untuk menghasilkan perlindungan yang optimal.
Vaksin Pfizer/BioNTech, misalnya, hanya memberikan tingkat perlindungan sedikit di atas 50% setelah penyuntikkan pertama. Angka ini baru akan naik ke 90% setelah penyuntikkan dosis kedua, tiga minggu kemudian.
Jadi, butuh waktu sekitar satu bulan sebelum perlindungan optimal terbentuk.
Vaksin lainnya dari Moderna, AstraZeneca/Oxford dan Sinovac juga memerlukan dua dosis per orang dengan selang waktu 2-4 minggu.
"Semua ini menandakan bahwa kekebalan efektif tidak serta-merta muncul setelah dosis pertama," kata Andree.
Sebagai contoh, saat ini, sudah ditemukan satu kasus di AS dengan seorang tenaga kesehatan tertular covid-19 seminggu setelah suntikan vaksin pertama. Kemungkinan ia tertular sesaat sebelum disuntik dan antibodinya (kekebalan) belum sempat terbentuk.
Ini menandakan penerima vaksin tetap rentan tertular dan menularkan sebelum dosis kedua diberikan.
Sebab lainnya adalah kapasitas diagnosa dan penguatan protokol kesehatan perlu diperkuat selama vaksinasi adalah minimnya pengetahuan akan keampuhan vaksin ini.
Pengembangan vaksin covid-19 yang sangat cepat berarti belum cukup waktu untuk mengumpulkan data ketahanan antibodi yang dihasilkan.
Kementerian Kesehatan memperkirakan program vaksinasi di Indonesia akan membutuhkan waktu 15 bulan dan mungkin saja penerima vaksin di tahap awal sudah kehilangan kekebalannya saat itu.
“Selain itu, sejauh ini tidak ada vaksin covid-19 yang 100% efektif," kata Andree.
Memperhitungkan berbagai kemungkinan ini, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika (CDC) tetap menyarankan penerima vaksin untuk menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak walaupun sudah menerima dua dosis vaksin.
"Jika masyarakat lengah dan menghentikan protokol kesehatan terlalu dini, bukan tidak mungkin vaksinasi massal malah akan diiringi percepatan penambahan kasus positif. Vaksin perlu dipahami sebagai salah satu alat pelengkap untuk mengendalikan laju penyebaran Covid-19 dan bukan solusi akhir yang menggantikan kebijakan kesehatan yang sudah ada,” tegas Andree.
Penggunaan rapid test antibodi untuk diagnosa covid-19 juga berpotensi mengacaukan proses pelacakan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan di Amerika (FDA) dan WHO menegaskan bahwa tes antibodi tidak boleh digunakan untuk pelacakan virus karena yang dideteksi adalah kekebalan yang munculnya beberapa minggu setelah virus menjangkiti.
Di sisi lain, vaksin covid-19 seharusnya memicu produksi antibodi di tubuh penerima yang diharapkan tahan lama jadi hasil tes antibodi mereka akan selalu reaktif. Intinya, rapid test antibodi sebenarnya mendeteksi orang yang sudah kebal covid-19, bukan pasien.
Beberapa negara bahkan ingin menerbitkan ‘paspor kekebalan' atau 'sertifikat bebas-resiko’ untuk penyintas dan penerima vaksin sebagai tanda bahwa mereka aman untuk kembali bekerja dan bepergian.
Saat negara lain meyakini pemilik antibodi yaitu penyintas dan penerima vaksin adalah ujung tombak pemulihan ekonomi, mereka malah terbentur peraturan yang berakar dari salah paham fungsi tes antibodi di Indonesia.
Pemerintah sepertinya sudah mulai menyadari masalah ini dan mengganti rapid test antibodi dengan rapid test antigen untuk syarat perjalanan wilayah Jawa dan Bali. Rapid tes antigen mendeteksi adanya protein virus di hidung dan tenggorokan dalam waktu kurang dari 30 menit.
Jadi tes ini tujuannya sama dengan PCR walaupun komponen yang dicari berbeda dan kecepatannya seperti rapid test antibodi.
Seperti dilansir Nature, rapid test antigen bisa mendeteksi virus di dua minggu pertama infeksi, sebelum tubuh mulai memproduksi antibodi. Tentu tes ini lebih tepat sasaran untuk pelacakan virus dibandingkan tes antibodi.
Biayanya pun lebih murah dari PCR, walaupun memang lebih mahal daripada rapid test antibodi. Sensitivitasnya lebih rendah daripada PCR karena hanya mendeteksi virus dalam dua minggu pertama. Tetapi setidaknya yang dicari memang virusnya.
Mengingat Indonesia masih terus kekurangan tes PCR, memperluas jangkauan tes ini ke luar Jawa dan Bali bisa mengisi kekurangan kapasitas diagnosa nasional untuk sementara.
Paling tidak, kemiripannya dengan PCR dikombinasikan dengan kecepatannya dan biaya yang lebih rendah bisa membantu Indonesia meningkatkan jangkauan tes diagnosa covid-19 yang merupakan salah satu kunci keberhasilan pengendalian pandemi.
“Keberadaan vaksin tetap harus dibarengi dengan perbaikan metode diagnosa, peningkatan kapasitas layanan kesehatan, dan internalisasi protokol kesehatan sebagai gaya hidup baru. Mebijakan yang memastikan semua metode pengendalian ini bekerja bersama akan membentuk kerangka pengendalian pandemi yang menyeluruh dan memberikan kinerja terbaik dalam mempercepat pemulihan negara ini dari krisis kesehatan terbesar abad ini,” tutup Andree. (OL-1)
Sejalan dengan penjelasan Kementerian Kesehatan yang menyebutkan vaksinasi booster covid-19 tetap direkomendasikan.
Pemakaian masker, khususnya di tengah kerumunan mungkin dapat dijadikan kebiasaan yang diajarkan kepada anak-anak.
Perusahaan ini fokus menggunakan teknologi vaksin berdasarkan mRNA pada Desember 2020, vaksin COVID-19 produksi mendapatkan izin penggunaan darurat di amerika serikat.
MEDIAINDONESIA.COM 20 Mei 2025 menurunkan berita berjudul ‘Covid-19 Merebak di Singapura dan Hong Kong, Masyarakat Diminta Waspada’.
Seiring dengan merebaknya kasus mpox, muncul banyak spekulasi yang menghubungkannya dengan vaksin covid-19.
Vaksin penguat atau booster Covid-19 masih diperlukan karena virus dapat bertahan selama 50-100 tahun dalam tubuh hewan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved