Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
PERGULATAN pencarian bentuk kajian budaya (cultural studies) di Indonesia telah membawa pengaruh penting dalam kerja-kerja pendefinisian ulang kebudayaan yang dilakukan oleh para sarjana kita. Kini kebudayaan tak lagi terkungkung dalam pengertian sempitnya belaka. Ia berkembang menjadi ranah kajian yang multidisipliner (lintas keilmuan), mendobrak sekat-sekat epistemologis yang dulu sempat memenjarakannya.
Refleksi atas perjalanan panjang perumusan kajian ini puntertuang secara sistematis dalam buku bunga rampai bertajuk Gerak Kuasa: Politik Wacana, Identitas, dan Ruang/Waktu dalam Bingkai Kajian Budaya dan Media yang dieditori oleh Wening Udasmoro. Buku ini juga merupakan suatu usaha untuk membumikan termterm kunci yang banyak digunakan dalam kajian budaya agar dikenal oleh khalayak luas yang tertarik mendalaminya.
Dalam perspektif kajian budaya, kebudayaan tidak lagi dipandang sebagai ‘dogma’ yang tak boleh diubah, melainkan sesuatu yang fleksibel dan memiliki ruang gerak yang tak terbatas untuk merespons pergeseran konteks yang menaunginya. Ia (kebudayaan) mengalami konstruksi, reproduksi, bahkan rekonstruksi ke bentuk-bentuk baru untuk menandai eksistensinya. Sisi fleksibilitas dari kebudayaan inilah yang kemudian terefleksi dalam tajuk ‘Gerak Kuasa’ pada buku ini.
Menurut sang penyunting, buku ini memiliki keunggulan karena memberikan ‘updating’ teoretis terhadap studi kajian budaya yang sedang mengalami perkembangan pesat selama tiga dekade belakangan ini. Beberapa teori cultural studies termutakhir pun coba diperkenalkan dalam buku ini. Dari teori tentang wacana diasporanya Paul Gilroy, teori dromologi yang dikembangkan Paul Virilio, Neo-Tribes dari Andy Bennett ia adopsi dari konsep Neotribalisme Michel Maffesoli, teori produksi ruang milik Henri Lefebvre, hinga teori tentang subjek dan bahasa kepunyaan Slavoj Zizek yang baru menjadi perbincangan banyak pengkaji budaya internasional.
Turut dibahas juga beberapa teori kajian budaya klasik yang hingga hari ini masih sering dirujuk, seperti teori representasi dari Stuart Hall, teori pascakolonial milik Homi Bhabha, dan teori pembentukan subjek bahasa dari Julia Kristeva.
Meski narasi yang disajikan dalam buku ini terkesan teoretis sebagai pengantar, tak perlu khawatir karena para penulis telah melengkapi setiap tulisannya dengan contoh-contoh kasus yang kontekstual untuk memudahkan pembaca mencerna topik-topik yang diangkat dalam buku ini.
Pembahasan teoritis
Buku ini ditulis keroyokan oleh 14 pakar dalam studi kajian budaya. Mereka punya titik tolak masing-masing, berangkat dari pembacaannya atas teoriteori cultural studies yang menjadi expertise tiap penulis.
Mengawali pembahasan bagian (bab) pertama dalam buku ini, Budiawan membuka diskusi tentang cultural studies melalui ulasan singkatnya yang bernada kritis tentang dekolonialisasi pengetahuan. Kajian budaya, menurutnya, merupakan motor penggerak yang penting dalam upaya pembebasan dari keterjajahan dalam produksi pengetahuan.
‘Cultural studies merupakan suatu body of knowledge yang sangat berpotensi menjadi agen penting proyek dekolonisasi produksi pengetahuan selain karena sifatnya yang politis; secara metodologis ia melengkapi diri dengan conjunctural analysis, yang bisa membantu menghindarkan diri dari jebakan-jebakan esensialisme’ (halaman 15).
Diskusi berlanjut ketika Sugeng Bayu Wahono menggulirkan wacana tentang perspektif ekonomi politik dalam kebudayaan, kemudian semakin mengerucut saat Ratna Noviani menghadirkan gagasan Stuart Hall (1997/2004) tentang representasi di era sebamedia yang memicu munculnya implikasiimplikasi sosial-politik baru.
Pembahasan dalam buku Gerak Kuasa semakin spesifik saat memasuki bagian (bab) kedua yang membahas mengenai tema seputar ‘Bahasa dan Wacana’. Bab ini dipurwakani oleh Dewi Candraningrum yang mengulas pendekatan Julia Kristeva ketika melihat posisi perempuan dalam kaitannya dengan bahasa. Dewi mencoba menjelaskan konsep ‘abjeksi’ yang merupakan kondisi terusir atau terbuang yang sering dialami perempuan, bahkan dalam ruang linguistik yang melembaga di alam bawah sadar manusia.
‘Narasi tentang gender tak melulu tentang kontrol patriarkat yang dilemahkan atau kebutuhan untuk kesetaraan -tetapi, jauh sebelum ia dieksekusi menjadi naskah setara, perjuangan pertama (yang harus dimenangkan) adalah perang linguistik’ (halaman 94).
Kemudian pada artikel selanjutnya terdapat Ramayda Akmal yang merangkum pemikiran dari teoretikus asal Slovenia, Slavoj Zizek, tentang bahasa dan kekerasan. Seakan menegaskan pendapat Zizek tentang bahasa merupakan manifestasi dari dimensi simbolis yang memenjarakan subjek, penulis secara gamblang menyatakan bahwa tidak ada kesetaraan dalam bahasa, dan lewat bahasalah praktik kekerasan diturunkan.
Lalu ada juga Kris Budiman yang menggunakan perspektif Paul Gilroy (2002) untuk menjelaskan wacana tentang diaspora, bagaimana mereka memaknai kata ‘Pulang?’. Di situ, penulis memberikan contoh kasus dengan mengangkat kisah-kisah mengenai para penyintas peristiwa 1965. Dilanjutkan dengan tulisan Budi Irawanto tentang kajian sinema. Dalam tulisannya Budi menjelaskan pemikiran dari Christian Mezt yang menceritakan proses penciptaan makna yang terjadi dalam sinema.
Pada bagian (bab) ketiga buku Gerak Kuasa, tema mengenai ‘Subjek dan Identitas’ menjadi bahasan pokok yang merajut kesinambungan dari tiga ulasan dalam bab ini. Artikel pertama yang ditulis oleh Oki Rahadianto Sutopo mengangkat perdebatan seru antara penganut subkultur dan pascasubkultur dalam kajian kepemudaan. Untuk memotret perdebatan tersebut, penulis menggunakan kacamata neo-tribes dari Andy Bennett (2004) yang merupakan salah satu akademisi pembaru dalam kajian budaya.
Perbincangan lain mengenai subjek hadir dalam tulisan Dian Arymami yang mengusung kritik Gilles Deleuze (1925-1995) terhadap dikotomi filsafat klasik being vs becoming. Saat beberapa filsuf sibuk dengan persoalan ontologis melalui pertanyaan ‘apa’, dalam pembacaan penulis, Deleuze melontarkan kritik atas kerja para filsuf yang menurutnya sia-sia. Ia (Deleuze) berpancang pada pertanyaan ‘bagaimana’ untuk mengusahakan diskusi filsafat yang lebih sehat lagi.
Di akhir bab ketiga, diskusi digulirkan oleh Suzie Handajani untuk memahami transformasi sosial yang dialami oleh subjek perempuan dalam persinggungannya dengan dunia digital (internet) melalui perspektif Angela McRobbie (2010-2014).
Melalui artikel bertajuk ‘Perempuan-Perempuan di Internet: Membahas Gender Bersama Angela McRobbie’, penulis berargumen bahwa perkembangan dunia digital yang hari ini sangat masif juga berdampak terhadap kehidupan sosial dari para perempuan di berbagai belahan dunia, terutama terkait dengan pilihan profesi yang tersedia bagi mereka. Salah satu konteks profesi yang dibahas oleh penulis dalam artikel ini ialah kemunculan youtuber perempuan yang berkutat dengan produk kecantikan, atau ‘beauty influencer’.
‘Saat menjalankan peran sebagai beauty influencer, para perempuan ini berasosiasi dengan konsep kantor virtual, bekerja dari rumah serta kerja berbasis proyek. Ini sering dianggap sebagai kondisiyang sangat feminin karena bersifat ramah gender. Itulah sebabnya, ranah beauty influencer cenderung sangat “perempuan”’ (halaman 228).
Usaha ekstra
Bagian (bab) keempat dalam buku ini menawarkan pembahasan ‘Politik Ruang dan Waktu’ yang merupakan pembahasan yang paling diminati dalam buku ini karena terdapat tulisan dua pakar kajian budaya yang mumpuni di Indonesia, yaitu Profesor Heru Nugroho dan Profesor Faruk. Keduanya merupakan guru besar di Universitas Gadjah Mada.
Heru Nugroho memulai tulisannya dengan mengusung pemikiran Paul Virilio (1977-2006) tentang teori dromologi. Istilah dromologi merujuk pada pengertian tentang kecepatan, utamanya kecepatan (dari teknologi informasi) yang menurutnya di masa depan term tersebut dapat menggantikan prinsipprinsip krusial dalam kehidupan sosial manusia, seperti keadilan dan kesetaraan.
‘Teknologi informasi dan moda transportasi yang menjadi semakin canggih menghasilkan faktor kecepatan yang semakin tinggi. Masyarakat telah dibawa masuk ke dalam sebuah ruang yang dapat bergerak sangat cepat yang dinamakan dromospheric space atau ruang kecepatan. Dalam konteks masyarakat pascamodern, kecepatan menjadi faktor determinan dalam kehidupan sosial’ (halaman 242).
Kemudian dilanjutkan dengan tulisan Faruk tentang konsep Lefebvre mengenai produksi ruang. Bagi Faruk, pemahamannya tentang ruang tak terbatas dalam arti fi sik. Ruang adalah medium yang mampu menghubungkan tiap-tiap subjek yang mendiami ruang tersebut. Oleh karena itu, praktik keruangan menurut dia, dengan merujuk pada pendekatan Lefebvre, seharusnya merupakan praktik representasional, tempat subjek-subjek berkontestasi dan mendominasi wacana.
Pada akhirnya, buku ini dapat pengantar yang wajib dibaca oleh mereka yang tertarik dengan cultural studies. Dan, sebagai sebuah usaha untuk mengenalkan teori-teori baru dalam studi kajian budaya, buku ini cukup mampu menggugah rasa ingin tahu khalayak umum terhadap studi kajian budaya yang sedang ramai diperbincangkan. Meskipun, di sisi lain, butuh usaha ekstra bagi pembaca awam untuk menyelami gagasan dalam buku ini karena redaksionalnya yang padat istilah. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved