Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
SEBELUM pandemi covid-19 terjadi, fenomena kecanduan internet pada anak sudah marak terjadi dan kondisinya makin parah ketika pandemi berlangsung.
Ratnawati, 35, sadar betul betapa bahayanya paparan gawai pada anaknya, Raka, 8, yang masih duduk di bangku kelas 2 sekolah dasar (SD) dan juga adiknya Rio, 3, yang masih balita.
Setiap hari, anaknya yang sulung menjalani pembelajaran jarak jauh (PJJ) lewat ponsel miliknya. Setelah jam PJJ berakhir, Raka kerap merengek untuk bisa bermain gim daring atau sekadar menonton video di Youtube.
“Saya kasihan karena dia kan gak saya bolehin main ke luar rumah. Jadi, saya kasih dengan batasan waktu maksimal 1 jam sehari. Jadi kalau siang dia pake 1 jam, malamnya dia enggak bisa lagi main HP,” tutur Ratnawati.
Pengaturan waktu dalam menggunakan gawai ini juga diterapkannya pada sang adik yang meniru kakaknya. Diakui Ratnawati, pengaturan waktu itu cukup efektif untuk mengerem keinginan anak-anaknya untuk memelototi gawai.
Dokter spesialis kejiwaan RSA UGM Shinta Retno Kusumawati menyampaikan, membatasi waktu dalam meng akses internet adalah cara utama dalam mencegah kecanduan internet pada anak.
“Sebelum memberikan gadget atau fasilitas mengakses internet sebaiknya orangtua membuat kontrak dengan anak untuk akses penggunaan internet. Misal boleh mengakses berapa lama, jika mengakses berlebih sanksinya apa,” kata Shinta, beberapa waktu lalu.
Cara berikutnya, sambung Shinta, adalah memberikan pengertian pada anak dalam bahasa sederhana mengenai dampak negatif kalau mereka kelamaan mengakses gawai. Yang paling mudah adalah rusaknya mata.
Shinta juga menyarankan para orangtua untuk memberikan anak kegiatan alternatif selain internet, misalnya mengajak bermain bersama, berolahraga, atau mengerjakan proyek sesuai hobi anak. “Anak harus dialihkan pada kegiatan lain yang positif atau bermanfaat,” tandasnya.
Kecanduan internet pada orang dewasa juga tidak kalah bahayanya. Pada September 2020, sejumlah staf Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa FKUI-RSCM dan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya merilis surveinya terhadap 4.734 responden di Indonesia. Hasilnya ditemukan, prevalensi populasi dewasa yang mengalami adiksi internet selama masa pandemi covid-19 meningkat hingga 14,4% dari yang sebelumnya hanya 3%.
Penggunaan internet berlebih dapat memperberat rasa cemas, depresi, dan mendorong perilaku kompulsi yang akhirnya semakin memperparah adiksi (kecanduan) internet. Berbagai hasil riset menyatakan, kecanduan gawai merusak otak karena berdampak pada jumlah ‘materi abu-abu’ di bagian otak tertentu. Materi abuabu ini merupakan lapisan terluar otak yang berperan penting dalam memori, perhatian, pikiran, bahasa, dan alam sadar. (Aiw/H-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved