Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Perilaku Primitif Manusia Penyebab Masalah Plastik

Ferdian Ananda Majni
11/11/2020 02:52
Perilaku Primitif Manusia Penyebab Masalah Plastik
Ilustrasi: tumpukan sampah plastik di Pantai Dadap, Juntinyuat, Indramayu,(ANTARA FOTO/Dedhez Anggara)

DOSEN Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik-Universitas Indonesia (UI) Firdaus Ali yang juga Pendiri dan Ketua Indonesia Water Institute, menyebut gerakan “Say No to Plastic” yang muncul belakangan ini, salah kaprah besar.

Gerakan melawan keberadaan plastik itu, kata Firdaus, sama saja melawan peradaban.

Ia pun lantas memaparkan sejarah penemuan plastik pada tahun 1862 oleh Alexander Parkers yang pertana kali berwarna cokelat. Kemudian di tahun 1930, ditemukan plastik baru sehingga penuh warna-warni. Dua dekade berselang, tepatnya tahun 1950, terjadi pertumbuhan dalam produksi plastik.

“Melawan keberadaan plastik ini salah besar, karena plastik sudah menjadi bagian dari kehidupan modern dengan beban populasi yang terus bertambah dengan signifikan. Plastik yang dibuang ke lingkungan, ya, itu salah. Tapi kalau kita lawan plastik sama saja melawan peradaban,” kata Firdaus Ali membuka presentasi webinar “Memperkuat Waste Management untuk Mendukung Circular Economy” yang diselenggarakan Sahabat Daur Ulang, Selasa (10/11).

Firdaus menambahkan Indonesia merupakan negara pembuang limbah plastik ke badan air nomor dua terbesar di dunia setelah Tiongkok.

Plastik menjadi masalah global akibat pengelolaan yang kurang baik, kemudian diperburuk dengan perilaku primitif manusia yang membuang ke lingkungan dan berakhir di badan air sampai ke lautan. Plastik ini membuat laut terkontaminasi hingga aktivitas serta keberlangsungan hidup biota laut terganggu.

Baca juga: Sukabumi Kendalikan Sampah Plastik

Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum ini mencontohkan Sungai Citarum yang permukaannya dipenuhi sampah. Namun, ia tidak sependapat jika keberadaan plastik disebut sebagai biang masalah.
 
“Yang salah bukan plastik. Tapi perilaku primitif kita lah sumber masalah dan bencana, lantaran membuang sampah dan limbah (plastik) tersebut. Setiap kali hujan saya melihat di Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan, yang ditangani petugas Dinas Kebersihan DKI itu diantaranya adalah sampah plastik. Ini menunjukkan betapa primitifnya kita,” sebutnya.

Firdaus menyebutkan persoalan komitmen politik dan fiskal menjadi penyebab penanganan plastik di perkotaan sehingga program “waste to energy” berjalan lambat. Padahal upaya pendekatan sudah ada melalui pembuatan regulasi dan insentif, tapi pelaksanaannya bergerak sangat lambat sementara akumulasi timbulan limbah bergerak cepat.

“Jawaban simple karena tidak punya komitmen solid, politik dan apalagi fiskal. Kita tidak menyadari menyelesaikan persoalan sampah dengan rantai kegiatan sama juga menyelesaikan persoalan perkotaan,” ungkap Firdaus.

Penerapan “waste to energy”, sambung Firdaus, masih kesulitan karena memang tidak disadari bahwa pengelolaan sampah itu aktivitas yang seharusnya menjadi tanggung jawab semua, mulai pemerintah kota, pelaku usaha dan masyarakat.

Firdaus menyarankan agar tidak berpikir biaya penanganan sampah secara modern begitu besar alias mahal sekali. Padahal menyelesaikan persoalaan persampahan kota itu bagian yang sangat strategis.

“Kita jangan sekadar mengedukasi, tapi pengelolaan sampah secara terpadu dari hulu hingga ke hilir harus menjadi budaya baru. Ini yang tertinggal dari peradaban kita,” tuturnya.

Keberadaan plastik, lanjut Firdaus, sangat esensial serta tidak bisa dipisahkan dari kehidupan dan kenyamanan. Apalagi saat pandemi covid-19, sebagian besar keberadaan plastik membantu kita dalam menjalani kehidupan norma baru ini.

Jadi kalau ada yang bilang “say no to plastic”, Firdaus meminta saatnya mengoreksi kecuali punya opsi lain untuk memutus penemuan sejarah plastik tahun 1862 dan menemukan jenis material baru (pengganti plastik) yang bisa terurai dengan baik dan cepat oleh lingkungan.

“Sebentar lagi vaksin covid-19 yang membutuhkan temperatur rendah sekali (-16 derajat Celcius dan -20 derajat Celcius) untuk penyimpanannya ini butuh plastik yang fleksibilitasnya menyesuaikan dengan temperatur,” jelas Firdaus yang aktif di kegiatan sosial bersama kelompok Harmoni Indonesia.

Terkait pendekatan circular economi, Firdaus berpendapat pengelolaan sampah plastik ini punya keuntungan yang jauh lebih bernilai dibanding cara primitif. Ini bagian dari gerakan global untuk memanfaatkan potensi ekonomi yang ada di rantai limbah plastik sehinga tidak membebani lingkungan, tidak mencemari lingkungan, dan membuka peluang ekonomi baru.

Pemanfaatan sampah plastik bisa menjadi bahan baku yang bisa dipakai untuk produksi yang berkelanjutan. Contoh, pemanfaatan plastik bekas untuk bahan bangunan, perhiasan, aksesoris, dan lain sebagainya.

“Plastik tidak akan mungkin kita lawan. Populasi yang semakin besar membutuhkan kenyamanan dan ketersediaan kemasan dalam jumlah yang masif sekali dan tentunya ini tantangan bersama,” sebut Firdaus yang mendorong penelitian dengan memanfaatkan limbah plastik yang tidak bisa didaur ulang.(OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya