Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Layanan Kesehatan Harus Berkelanjutan

Put/Aiw/H-2
10/9/2020 05:30
Layanan Kesehatan Harus Berkelanjutan
Petugas kesehatan melayani pendaftaran calon pasien pengguna Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang hendak berobat di Puskesmas, Kalimantan Barat.(ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang)

KETIKA jumlah orang yang membutuhkan pelayanan kesehatan terus meningkat, sistem pelayanan kesehatan menunjukkan keterbatasannya, dari sisi infrastruktur, teknologi, hingga sumber daya manusia (SDM).

Itu menjadi pelajaran berharga yang didapat Indonesia dari pandemi covid-19, seperti dikemukakan Gubernur  DKI Jakarta Anies Baswedan saat meresmikan Brawijaya Hospital Saharjo di Tebet Barat, Jakarta Selatan, kemarin.

Untuk merespons kondisi ini, imbuh Anies, teknologi terbaru dan peningkatan kapasitas SDM terbaik menjadi keniscayaan agar terwujud sistem kesehatan yang berkelanjutan dalam jangka panjang.  

Dipaksa oleh pandemi, kata Anies, tren layanan kesehatan mulai bergeser dan beralih dari volume based service atau fee based service (pelayanan berbasis kapasitas atau pembiayaan) menjadi value based care (pelayanan berbasis nilai). Salah satu bentuknya ialah berkembangnya layanan telemedicine.

“Pergeseran ini harus juga diantisipasi oleh rumah sakit baru seperti Brawijaya Hospital karena kita menyadari bahwa masyarakat sekarang mempunyai ekspektasi tinggi seperti saya sebut tadi. Mereka akan menuntut pengalaman pelayanan kesehatan yang berbeda, bukan sekadar soal biaya, bukan sekadar soal alat, tapi soal pengalaman,” pungkasnya.

Merujuk pada surat edaran dari Menteri Kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan juga memberikan layanan telemedicine yang disinergikan dengan fitur konsultasi daring di aplikasi Mobile JKN.

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri mengatakan pembiayaan BPJS-K untuk rawat inap tingkat lanjut (RITL) masih menghabiskan biaya tertinggi. RITL hingga Juni 2020 bahkan telah menghabiskan dana Rp29,3 triliun atau lebih banyak jika dibandingkan dengan di 2014 yang cuma Rp25,2 triliun. Sayangnya, imbuh Asih, selama ini jumlah anggaran yang dibelanjakan lebih banyak daripada pendapatan, serta tren utilisasi mengalami kenaikan hingga menghasilkan defisit. “Misalnya, hemodialisis (cuci darah) kok bisa 56 kali dalam satu tahun? Apa dasarnya?” ujarnya dalam sebuah webinar. (Put/Aiw/H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya