Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kemenristek Jelaskan Etika Akademik dalam Penemuan Obat

Ihfa Firdausya
06/8/2020 15:06
Kemenristek Jelaskan Etika Akademik dalam Penemuan Obat
Etika Akademik(Ilustrasi)

KLAIM penemuan obat covid-19 yang ramai belakang ini menjadi perhatian masyarakat. Para pakar pun bereaksi atas peristiwa ini.

Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN Prof. dr. Ali Ghufron Mukti M.Sc., Ph.D menjelaskan segi etik ketika seorang ilmuan/akademisi menemukan suatu obat.

"Kalau sebuah obat ditemukan, sebetulnya konsumsi utamanya di lingkungan ilmiah, kepada kolega. Jadi biasanya dimuat di jurnal, dan jurnal itu dibaca oleh kolega, atau presentasi ilmiah. Maka kolega tahu bahwa ini acceptable apa tidak. Baru ke media," katanya dalam telekonferensi di Graha BNPB, Jakarta, Kamis (6/8).

"Sekarang seringnya dibalik. Ke media dulu, kemudian ramai di publik, baru ke lingkungan ilmuwan," imbuhnya.

Ali mengatakan bahwa obat sebagai medikamentosa di satu sisi bisa menyembuhkan tapi di sisi lain bisa jadi racun. Karena itu, prosedur penggunaannya harus sangat hati-hati.

"Jadi keamanan, privasi, dan sebagainya ini penting. Oleh karena itu, biasanya orang melakukan penelitian itu harus memyusun proposal dulu," jelasnya.

Proposal ini harus melalui oleh komite etik yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 240 Tahun 2016 Tentang Komisi Etika Penelitian Kesehatan.

"Harus lulus di situ, mendapatkan etichal clearance. Apalagi melibatkan subjek manusia, yang mana ada kerahasiaannya, keamanan, keselamatan, dan dignity-nya, harus dilindungi. Makanya harus ada informed consent, jadi dia mengambil keputusan setelah kita jelaskan," jelas Ali.

Baca juga : UGM: Jangan Mudah Percaya Klaim Penemuan Obat Covid-19

Dia juga menyebut bahwa setiap fakultas kedokteran yang memiliki reputasi besar pasti memiliki komite etik.

"Jadi tidak bisa ujug-ujug, 'saya udah menemukan obat ini'," terangnya.

Di sisi lain, lanjutnya, Kemenristek/BRIN juga membuka selebar-lebarnya kesempatan untuk penelitian, terutama yang kini berhubungan dengan covid-19.

"Kita memberikan fasilitasi, termasuk dananya. Tentang covid-19 ini terakhir ada 903 proposal," katanya.

Sementara untuk obat herbal atau jamu yang tidak memerlukan uji klinis, juga harus melalui proses untuk mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

"Jadi kalau ada klaim, kita bisa cek terdaftar tidak di BPOM. Lalu terdaftarnya sebagai apa? Kalau itu misalnya jamu dan diklaim bisa untuk covid-19, itu tidak bisa," pungkasnya. (OL-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Baharman
Berita Lainnya