Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

KPK: Dana Riset Kecil dan Inefisiensi

Dhika Kusuma Winata
16/6/2020 18:10
KPK: Dana Riset Kecil dan Inefisiensi
Ilustrasi(AFP)

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan pengelolaan dana riset nasional diselimuti masalah inefisiensi. 

Dana penelitian yang secara nasional tergolong kecil ditambah tidak adanya koordinasi lembaga riset yang tersebar di kementerian/lembaga serta perguruan tinggi dinilai mengakibatkan anggaran penelitian tidak efektif.

"Tidak ada arah yang jelas ke mana arah penelitian akan dikembangkan. Kalau tidak ada arah yang jelas tentu sumbangsih dan kegunaannya bagi kemajuan Indonesia tentunya semakin suram," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam jumpa pers bersama Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro terkait kajian komisi tentang pengelolaan dana penelitian Indonesia di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (16/6).

Nurul Ghufron mengatakan beragamnya institusi riset di Indonesia yaitu mulai dari perguruan tinggi (PTN, PTS dan Perguruan Tinggi Islam), badan litbang di kementerian/lembaga di pusat seperti BPPT, LIPI, BATAN, dan LAPAN hingga pemerintah daerah. Seluruh institusi melakukan penelitian dengan anggaran dan SDM masing-masing namun minim integrasi dan koordinasi.

Kajian KPK menilai anggaran penelitian di Indonesia sangat rendah. Saat ini, dana riset secara nasional hanya mencapai 0,28% dari produk domestio bruto (PDB). 

Dibandingkan dengan negara-negara lain, alokasi dana penelitian di Tanah Air masih tertinggal. Seperti misalnya, dana riset di Filipina 0,82% PDB, Jepang 1,3%, Amerika Serikat pada tingkat 4%. Adapun tingkat ideal yang di banyak negara yakni minimal 1% dari PDB-nya.

Kajian KPK juga menyoroti minimnya dana riset berkaitan dengan pelaku bidang penelitian di Indonesia yang minim dari swasta. Sebanyak 84% anggaran riset didominasi berasal dari pemerintah dan hanya 16% oleh swasta. KPK menyebut kecenderungan negara-negara lain lebih dari 50% riset dilakukan swasta.

Nurul Ghufron menjelaskan kajian komisi juga menemukan motivasi penelitian di kementerian/lembaga cenderung pada sekadar penyerapan anggaran yang tersedia. Adapun perguruan tinggi, imbuh Ghufron, riset lebih banyak dilakukan untuk pemenuhan angka kredit dan jurnal penelitian.

KPK juga mendapati adanya laporan pengaduan masyarakat terkait penelitian fiktif, tumpang tindih pemotongan berupa management fee, pemberian dan penggunaan tidak sesuai ketentuan, serta pengendapan dana penelitian. Menurut Ghufron, indikasi penyimpangan tersebut bisa menimbulkan moral hazard bagi peneliti maupun lembaganya.

KPK memandang penting kajian di sektor pendidikan ini mengingat kondisi lembaga penelitian tersebar pada setiap kementerian/lembaga di pusat hingga daerah tanpa ada koordinasi. Anggaran pun tersebar dan tidak terhitung secara riil.

KPK merekomendasikan untuk penguatan Kemenristek menjadi lembaga yang mengoordinasikan penelitian nasional. Komisi juga menyarankan perlunya perbaikan tata kelola anggaran penelitian dan penetapan standar luaran (output) riset.

Terkait efektifitas anggaran, KPK merekomendasikan agar kementerian menyusun penandaan anggaran dalam APBN seperti pada penandaan anggaran pendidikan yang ditetapkan 20%. KPK juga menyarankan organisasi profesi bekerja sama dengan instansi pembina peneliti menerbitkan kode etik dan mekanisme penegakannya untuk mencegah potensi moral hazard. (OL-8).



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya