Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Edukasi Lingkungan melalui Wayang

Bagus Pradana
14/5/2020 01:15
Edukasi Lingkungan melalui Wayang
Pentas Wayang Sampah Balai Soedjatmoko, Surakarta(Dok. Pribadi )

SAMPAH seolah menjadi masalah laten di Bengawan Solo. Sungai yang berhulu di kaki bukit Wonogiri itu seakan telah kehilangan seluruh magis ketika tumpukan sampah tampak di sepanjang alirannya. 

Telah menjadi hal yang biasa ketika aneka jenis sampah menempel di tepian, bahkan sering kali menyangkut di sela-sela pilar jembatan yang dilintasinya. Tak jarang air pun berubah menjadi pekat kehitaman, tajam menguar aroma busuk.

Berawal dari keprihatinannya menyaksikan pemandangan ini, Muhammad Sulthoni atau yang karib disapa Toni Konde akhirnya tergerak untuk turut andil menyuarakan permasalahan lingkungan tersebut. Pria 44 tahun ini memang dikenal sebagai seorang seniman wayang yang cukup eksentrik di Solo. Ia bahkan berhasil menciptakan sebuah kesenian kontemporer berbasis lingkungan yang ia sebut wayang sampah (wangsa) untuk menyosialisasikan kesadaran lingkungan kepada warga sekitar di kediamannya, Dusun Ngadisono, Kelurahan Kadipiro, Banjarsari, Kota Surakarta.

“Dulu saya membuat wayang beber dengan cara dibatik. Dari situ mulai berkenalan dengan seni batik dan banyak perajin batik. Tapi suatu kali saya melihat pembatik di kampung kok membuang cat pewarna batiknya itu di sungai sehingga airnya terlihat berwarna-warni. Agak miris memang,” ungkap Toni yang dihubungi Media Indonesia, pekan lalu.

Semenjak itu, Toni pun memutuskan untuk mengampanyekan masalah lingkungan ini melalui media wayang. Awalnya melalui wayang beber. Dia mencoba pakai cat alami dan mulai mengangkat isu lingkungan dalam cerita-ceritanya. Pertunjukan itu ia beri nama Wayang Beber ‘Welingan’ atau Wayang Edukasi Lingkungan.

Namun, seiring berjalannya waktu, dia masih melihat ada masalah lingkungan yang lebih mengganggu lagi di sekitar tempat tinggalnya, yakni masalah sampah plastik. “Akhirnya saya berinisiatif membuat wayang dari bahan sampah plastik, ya akhirnya jadilah wayang sampah ini,” ujarnya.


Ide cerita

Toni bercerita, ide awal wayang sampah ini ia dapatkan ketika melihat tumpukan botol bekas di sekitar rumahnya. Dari sana kemudian ia bereksperimen untuk membuat satu bentuk karakter wayang yang ia namai Mbah Wangsa (Wongso).

Kata Toni, dia sengaja memilih wayang sebagai medium edukasi karena kesenian itu mudah diterima masyarakat Jawa. “Karakter utamanya seperti punakawan kalau dalam wayang kulit. Ada yang namanya Mbah Wangsa (Wongso), kalau di wayang kami itu istilahnya sebagai Semar-nya gitu. Selain Mbah Wongso, punakawannya ada Gombal, Gimbal, dan Kemp ul. Mereka itu yang jadi tokoh utamanya,” ujar Toni.

Karena niatnya mengedukasi masyarakat tentang perlunya menjaga lingkungan, ide cerita yang disampaikan Toni melalui pertunjukan wayangnya pun seputar persoalan lingkungan hidup yang terjadi saat ini. Kadang dia selipkan pengetahuan mengenai cara mendaur ulang sampah (recycle, reduce, reuse) dalam setiap narasi cerita yang ia bawakan.

“Narasi pokok yang pasti kami sampaikan itu, ya tentang skema daur ulang sampah. Kemudian tentang cara mengolah sampah yang baik dan benar. Atau kalau tidak, ya tentang masalah lingkungan yang sedang terjadi di masyarakat gitu,” ungkapnya.

Toni bersama komunitas Wayang Sampah (Wangsa) yang ia dirikan pada 2014 sejauh ini telah berhasil mengkreasikan sebanyak 50 tokoh wayang dan puluhan cerita yang rutin mereka bawakan dalam setiap pementasan. 

Untuk mengiringi pentas, Toni juga membuat berbagai jenis alat musik pengiring pergelaran dari bermacam material yang sudah tidak terpakai lagi, seperti botol dan ember. “Tapi sebagian besar ya alat musiknya seperti gamelan itu, ada saron, gender, kendang, slentem, terus suling,” tambah pria yang tahun lalu diundang mengikuti Workshop and Exhibition ARC Project di Filipina, Jepang, dan Thailand.

Toni dkk biasanya pentas di kampungkampung yang berlokasi di dekat sungai. Mereka mengedukasi warga tanpa menggurui. Mereka juga tidak melontarkan kritik kepada siapa pun dan hanya menceritakan tentang sebuah fakta yang memang terjadi dan dialami bersama, yakni persoalan sampah. Selain itu, dia dan komunitasnya juga sesekali menggelar workshop tentang cara membuat dan memainkan wayang kepada anak-anak.

“Mereka kami suruh membawa sampah plastik sendiri dari rumah masingmasing sebagai bahan untuk membuat wayangnya,” tegas Toni, yang mengaku sering juga diundang ke sekolah-sekolah untuk memberikan pelatihan sejenis dan penyuluhan mengenai lingkungan
hidup. (M-4)


 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya