Headline
Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan
Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah
KWITANG identik dengan buku. Sejak lama, daerah di Jakarta Pusat itu jadi surga bagi pecinta buku. Pamor Kwitang makin meroket utamanya di kalangan anak muda saat film Ada Apa dengan Cinta? tayang pada tahun 2002.
Film besutan Rudy Soedjarwo itu menjadikan Kwitang sebagai lokasi Rangga (Nicholas Saputra) dan Cinta (Dian Sastrowardoyo) berkencan. Saat itu, Kwitang disesaki penjual yang menggelar dagangannya di pinggir jalan.
Namun, pemandangan Kwitang dalam film Ada Apa dengan Cinta? sudah tidak terlihat. Jalanan lengang. Hanya tiga orang yang berjualan di trotoar. Kegiatan jual-beli buku di Kwitang saat ini terpusat di sebuah bangunan lama yang berada di sebelah fly over Senen.
Sebanyak 20 pedagang menyesaki bangunan itu dengan tumpukan buku. Beragam jenis buku, baik dalam kondisi baru maupun lama dijual. Pembeli bisa menemukan buku sekolah, politik, ekonomi, filsafat, sejarah, sastra, resep masakan, majalah, buku motivasi, buku agama, dan komik.
Sebelum penggusuran yang terjadi pada 1997 dan 2008, lokasi ini mudah terlihat pembeli. Saat itu masih banyak pedagang kaki lima yang berjualan buku di trotoar, bahkan hingga tumpah ke jalan.
Kebakaran pada 19 Januari 2007 di kawasan pelapak buku Kwitang juga membuat sejumlah pedagang merugi dan memutuskan berhenti berjualan.
Hardi, 37, mengaku sudah berjualan selama 15 tahun di Kwitang. Orangtuanya, bahkan telah berjualan sejak 1970 di daerah tersebut. “Dulu mah di belakang, lama-lama geser. Akhirnya sekarang di dalam,” tuturnya kepada Media Indonesia, beberapa waktu lalu.
Ia mengaku kebanyakan pelanggannya berasal dari kalangan mahasiswa. “Biasanya buat orang nyusun (skripsi), nyari materi. Kalau lagi semester baru, yang laku buku-buku pengantar,” ujarnya.
Salah satu pengunjung, Deni, 18, sengaja datang ke Kwitang untuk mencari buku kuliah. Deni yang baru memasuki bangku perkuliahan memilih mencari buku di Kwitang karena alasan harga. “Di sini kan harganya under retail, jadi lebih murah jika dibanding dengan toko buku besar,” ungkapnya.
Hal senada terucap dari Lili, 22. Mahasiswi akhir ju-rusan olahraga itu juga berujar bahwa harga yang murah menjadi pertimbangannya membeli buku di Kwitang. Meskipun baru dua kali, ia merasa senang berbelanja di sana. “Karena lokasinya di pinggir jalan, jadi mudah ditemui,” ujarnya
Namun, pedagang buku di Kwitang mengeluhkan kehadiran gawai yang membuat pengunjung semakin jarang datang. “Dulu yang datang ke sini enak banget. Terakhir tahun 2008 ramainya karena belum ada gadget,” terang Hardi. Ia mengaku harus membuka toko online guna mengikuti perkembangan zaman dan memperluas pasar.
Pedagang lain, Subhil, 49, juga mengamini ucapan Hardi. “Saya jualan online dari tahun 2015. Artinya, online itu sebuah keniscayaan. Kalau ngga ngi-kutin, kita tertinggal. Pasar online kan luas, tak terbatas,” terangnya. Meski demikian, ia masih setia menunggui lapaknya di Kwitang. (Tri/H-3)
Buku yang ditulis Kelly Tandiono tersebut terinspirasi dari pengalaman pribadinya saat pertama kali menyelam pada 2011.
Buku, disebut Dedi, merupakan medium yang efektif untuk memperkenalkan kecintaan terhadap alam Indonesia kepada anak-anak, sekaligus menumbuhkan empati terhadap lingkungan.
STAF Sumber Daya Manusia Polri (SSDM Polri) meluncurkan buku berjudul Policing in Indonesia.
Lebih dari sekadar karya tulis, buku karya Connie Rahakundini Bakrie ini adalah seruan dan ajakan untuk membangkitkan kesadaran kolektif bangsa akan makna sejati berbangsa dan bernegara.
Hingga Juni 2024, telah disalurkan 490 Al-Qur’an dan 13.790 buku tulis ke sekolah-sekolah dasar di wilayah Tangerang.
Buku ini bukan hanya kumpulan resep, melainkan potret kehidupan harian masyarakat Indonesia dari sudut pandang kuliner.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved