Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
VIRUS radikalisme bisa menyasar siapa saja. Bahkan infiltrasi itu telah menyusup ke kalangan intelektual, bahkan di lembaga-lembaga pemerintah.
Hal ini tidak bisa didiamkan karena infiltrasi radikalisme terutama intoleransi dan takfiri sekarang telah sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, bila penyebaran ideologi kekerasan ini tidak dihentikan, akan menimbulkan kekacauan di masa mendatang.
Dosen Pascasarjana Universitas Mathlaul Anwar Serang, Dr Suhardi Somomoeljono SH MH, mengungkapkan, penyebaran radikalisme tidak pandang bulu, sehingga siapapun dapat terjangkit.
Lebih berbahaya lagi, bila paham-paham negatif itu menjangkiti intelektual kampus. Meski mungkin jumlahnya relatif kecil, dampak yang akan ditimbulkan di kalangan mahasiswa dan masyarakat sangat besar.
"Untuk melawan itu, rektor sebagai penguasa perguruan tinggi di kampus harus berani mengeluarkan kebijakan yang secara imperatif memiliki nilai sanksi akademis," ujar Suhardi di Jakarta, Jumat (13/9).
Menurut Suhardi, akar permasalahan radikalisme ini sebenarnya terletak pada kegagalan sebagian masyarakat yang dalam memahami kaitan keberadaan budaya dalam kaitannya dengan agama. Hal itu berakibat secara signifikan yang menimbulkan perilaku yang cenderung egoisme dan mementingkan kelompoknya sendiri.
Baca juga: Putra Habibie Persilakan Masyarakat jika Ingin Datang Tahlilan
Kondisi inilah yang membuat penyebaran radikalisme di lingkungan kampus menjadi sangat subur. Pasalnya, di era milenial ini, penguatan budaya dan kearifan lokal di kalangan terdidik sudah sangat kurang sekali. Belum lagi wawasan kebangsaan dan nasionalisme yang semakin tipis karena tergerus karena masuknya ideologi-ideologi transnasional dari luar negeri.
"Itulah masalahnya, narasi-narasi intoleransi dan sejenisnya itu mudah menyebar di kalangan mahasiswa dan masyarakat, ya karena terlepasnya nilai-nilai budaya dari doktrin agama. Padahal nilai budaya dari doktrin agama itu seharusnya bisa menjadi benteng untuk menangkis serangan radikalisme itu. Kalau bentengnya rapuh, otomatis akan mudah goyah diserang," papar pakar deradikalisasi ini.
Ia menyarankan, agar dua variabel diatas yaitu budaya dan agama harus segera disinergikan dalam berbagai kebijakan legislasi nasional. Pasalnya, bila tidak pencegahan terhadap dinamika masyarakat yang mengarah pada perilaku intoleransi, akan sulit dilakukan. Lebih-lebih lagi pada tahapan penindakannya.
Untuk itu, para tokoh agama dan masyarakat juga harus ikut aktif membina masyarakat sesuai porsi dan urgensinya masing-masing dan di bawah panduan serta fasilitasi dari pemerintah.
"Spektrum penegakan hukum tidak akan mampu menyelesaikan masalah radikalisme ini. Bahkan untuk meredam pun sangat sulit jika jumlah masyarakat yang berperilaku intoleransi demikian banyaknya," pungkasnya. (RO/OL-1)
Bupati Sukabumi, Asep Japar, mengaku prihatin terjadinya insiden di Kecamatan Cidahu, pekan lalu. Peristiwa tersebut mendapat perhatian berbagai elemen sehingga menjadi isu nasional.
ANGGOTA Komisi III DPR RI, Sarifudin Sudding mengatakan kasus intoleransi di Sukabumi disebut sebagai hal yang tidak seharusnya terjadi.
GUBERNUR Jawa Barat Dedi Mulyadi dinilai gagal mencegah adanya kasus intoleransi, salah satunya ialah pembubaran retreat pelajar Kristen di Sukabumi.
Dialog antaragama merupakan sarana yang sangat penting bagi mahasiswa untuk meningkatkan daya kritis, membangun hubungan antaragama yang baik dan bermakna.
KETUA Umum Ahlulbait Indonesia (ABI) Zahir Yahya menilai untuk menghadapi tantangan di Indonesia yang kompleks, Islam dan kebangsaan harus berjalan beriringan.
Universitas Nusa Cendana dianggap paling menarik dan terpilih menjadi role model untuk implementasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved