Titik Panas Meluas, BMKG Minta Masyarakat Waspada Karhulta

Indriyani Astuti
07/8/2019 10:15
Titik Panas Meluas, BMKG Minta Masyarakat Waspada Karhulta
Petugas BPBD Pekanbaru dibantu Pemadam Kebakaran Kota Pekanbaru berjibaku memadamkan bara api di lahan gambut.(ANTARA/Rony Muharrman)

BADAN Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) meminta masyarakat terus mewaspadai sebaran titik panas untuk menghindari terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

Berdasarkan hasil pemantauan selama dua minggu terakhir (25 Juli – 5 Agustus 2019) BMKG mengidentifikasi terdapat 18.895 titik panas di seluruh wilayah Asia Tenggara dan Papua Nugini.

Deputi Meteorologi BMKG Prabowo, di Jakarta, Selasa (6/8), menuturkan informasi titik panas tersebut dianalisa oleh BMKG berdasarkan citra Satelit Terra Aqua (LAPAN) dan Satelit Himawari (JMA Jepang).

Peningkatan jumlah titik panas ini, menurutnya, diakibatkan kondisi atmosfer dan cuaca yang relatif kering sehingga mengakibatkan tanaman menjadi mudah terbakar.

"Kondisi tersebut perlu diperhatikan, agar tidak diperparah dengan maraknya pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertanian dengan cara membakar," tuturnya.

Baca juga: Kabut Asap Selimuti Lima Daerah di Riau

Guna mengantisipasi meluasnya titik panas dan risiko Karhutla, Prabowo menyampaikan BMKG telah berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Pemerintah Daerah (BPBD), instansi terkait, dan masyarakat untuk terus meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap potensi kebakaran lahan dan hutan, bahaya polusi udara dan asap, potensi kekeringan lahan dan kekurangan air bersih.

Hasil monitoring yang dilakukan BMKG menunjukkan adanya tren peningkatan titik panas di berbagai wilayah ASEAN.

Mulai 25 Juli 2019 terpantau ada sebanyak 1.395 titik, kemudian meningkat menjadi 2.441 pada 28 juli 2019. Titik panas mulai menurun pada 29 Juli 2019 menjadi 1.782 titik dan menjadi 703 titik pada 1 Agustus 2019.

Namun, jumlah titik panas kembali meningkat menjadi 3.191 titik pada 4 Agustus 2019. Titik panas tersebut terkonsentrasi di wilayah Riau, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat, bahkan juga terdeteksi di Serawak (Malaysia), Thailand, Kamboja, Vietnam, Myanmar, dan Filipina.

Prabowo menjelaskan, saat kemarau, pola angin dominan berasal dari arah Tenggara, hal itu mendorong arah penyebaran (trayektori) asap melintasi perbatasan wilayah Indonesia sehingga lahan mudah terbakar.

Kondisi tersebut telah diantisipasi dalam bentuk informasi peringatan dini berupa monitoring sebaran asap dan prediksi zona kemudahan terbakar, dengan menggunakan Fire Danger Rating System (FDRS) sampai 7 hari ke mendatang (6 hingga 12 Agustus) untuk wilayah ASEAN.

Dalam sistem tersebut terdapat peta prakiraan tingkat kemudahan terjadinya kebakaran berdasarkan unsur cuaca untuk wilayah Asia Tenggara.

"Dalam seminggu ke depan (6 – 12 Agustus 2019) wilayah Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Filipina, Thailand, Malaysia, dan sebagian kecil Myanmar, Vietnam, Laos masuk kategori diprediksi sangat mudah terjadi kebakaran," terangnya.

Prabowo menerangkan saat ini sebagian besar wilayah Indonesia dan beberapa wilayah di ASEAN sedang mengalami musim kemarau (monsun Australia). Itu membuat pola angin secara umum yang berasal dari arah Tenggara bersifat kering.

Selain itu, kondisi musim juga dipengaruhi anomali suhu permukaan laut di perairan Indonesia yang negatif khususnya di selatan ekuator dengan adanya El Nino.

"Hal ini mengakibatkan musim kemarau tahun ini lebih kering dari 2018 dan kondisi lahan khususnya gambut secara potensi menjadi mudah terbakar," ucapnya.

Kondisi kering itu diikuti okemunculan hotspot yang dapat berkembang menjadi kebakaran hutan dan lahan yang pada akhirnya menimbulkan asap dan penurunan kualitas udara sehingga diperlukan langkah antisipatif untuk meminimalisasi dampak karhutla. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya