Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

RUU Pertanahan Disahkan, Indonesia sebagai Paru Paru Dunia Pudar

Mediaindonesia.com
05/8/2019 14:10
RUU Pertanahan Disahkan, Indonesia sebagai Paru Paru Dunia Pudar
Hutan tropis Indonesia menjadi salah satu paru paru dunia selain hutan di Brasil dan Zaire.(Istimewa/KLHK)

Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura , Dr. Ir. H Gusti Hardiansyah mengungkapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan ini disahkan, peran hutan tropis Indonesia di dunia global terancam.

Pasalnya dalam RUU Pertanahan ini lebih sarat dengan aspek ekonomi dan meninggalkan aspek keadilan dan aspek ekologi, sudah pasti akan mengancam keberlanjutan ekosistem hutan.

"Sehingga peran Indonesia sebagai paru-paru dunia setelah negara Brasil dan Zaire otomatis memudar dan mengancam komitmen mitigasi perubahan iklim global yang telah dibuat Indonesia dengan negara maju  dunia untuk menurunkan emisi sebesar 41% tidak mungkin tercapai maksimal," kata Gusti saat dimintai keterangan terkait RUU Pertanahan di Jakarta, Senin (5/8) .

“Selain itu berisiko kalau aturan ini disahkan dalam kondisi transisi DPR, yang mestinya tidak ada keputusan strategis dalam masa transisi yang membawa dampak jangka panjang bagi bangsa Indonesia,” ujar dosen Universitas Tanjung Pura, Pontianak, Kalimantan Barat.

Pemaksaan pengesahan RUU saat ini, kata Gusti, akan berakibat pada  prinsip good governance tidak efektif berjalan. Terutama prinsip akuntabilitas pada DPR dan pemerintah sehingga publik tidak akan percaya (distrust) kepada penyelenggara negara dan Legislatif. “RUU ini bisa menimbulkan persoalan hukum melalui judicial review di tingkat Mahkamah Konstitusi.

Akibatnya, tambah Gusti, rakyat di akar rumput mengalami konflik yang berkepanjangan karena tidak adanya keadilan, tidak nyaman, tidak produktif. Selain itu, RUU Pertanahan bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan dan bencana alam karena yang hanya menguntungkan golongan pemodal dan pengusaha besar.

Bertentangan dengan Pancasila

Menurut Gusti, RUU Pertanahan yang kini tengah dibahas di DPR bertentangan dengan sila kelima  Pancasila. Pasalnya RUU Pertanahan lebih mengakomodasi kepentingan bisnis dan investasi perkebunan skala besar.

Monopoli swasta, perampasan tanah,  dan penggusuran. Bahkan, impunitas atau terbebas dari jeray hukum bagi para pengusaha perkebunan skala besar yang banyak diatur dalam RUU Pertanahan. Hal tersebut tercermin kuat melalui hak pengelolaan instansi pemerintah dan rencana bank tanah.

“Keberadaan kawasan hutan yang tertuang pada Pasal 15 RUU Pertanahan, menjadi titik masuk dari proses pembenaran atau pemutihan atas usaha perkebunan dan lainnya yang masuk ke dalam kawasan hutan, yang pada akhirnya berpotensi menjadi penyebab berkurangnya kawasan hutan,” ujar Gusti di Jakarta, Senin (5/8), saat  menjawab pertanyaan pers terkait polemik RUU Pertanahan.

Menurut Gusti, RUU pertanahan mengandung banyak inkonsistensi dan kontradiksi antara konsideran dengan isi RUU antara niatan menjalankan reforma agraria untuk menata ulang struktur agraria menjadi berkeadilan dengan rumusan-rumusan baru terkait hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pengelolaan dan bank tanah.

Semuanya yang terkandung dalam RUU Pertanahan menabrak UU Pemda, UU Perseroan, UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, UU yang mengatur kompetensi peradilan di Indonesia, UU Pesisir dan juga aturan yang mengatur keberadaan masyarakat hukum adat serta UU terkait Pidana.

Karena itu, lanjut Gusti, RUU Pertanahan akan menjadi penghambat iklim usaha dan investasi. Terdapat empat pasal terkait kawasan hutan pada rancangan beleid tersebut, yakni Pasal 23 terkait rencana tata ruang, Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 66 terkait obyek pendaftaran tanah. Pada Pasal 23, disebutkan bahwa kawasan hutan termasuk bagian dari kawasan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang.

“Areal tata ruang pada pasal tersebut seharusnya hanya membahas lahan yang berada di luar kawasan hutan, karena pengelolaan kawasan hutan sudah diatur UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jika berpatok pada UU Kehutanan, sebagai kesatuan ekosistem, hutan tidak hanya terkait dengan tanah tempat ruang tumbuhnya, tetapi memiliki berbagai fungsi sumber daya alam lainnya,” papar Gusti

Menurut Gusti, Pasal 63 dan pasal 66 yang intinya menyatakan bahwa obyek pendaftaran tanah meliputi semua bidang tanah dan kawasan di seluruh wilayah Indonesia. Namun, apabila berpatokan pada UU kehutanan, kawasan hutan bukan merupakan objek pendaftaran tanah.

Pasal 64 RUU Petanahan juga mewajibkan seluruh pihak terkait untuk melakukan pemetaan kembali pada lahan konsesi yang sebenarnya penataan batas dan penetapan wilayah konsesi kehutanan sudah dilakukan serta diintegrasikan melalui kebijakan satu peta (one map policy).

“Pasal 64 ini berpotensi menimbulkan high cost economy dan dikhawatirkan mengurangi luasan lahan konsesi yang sudah berizin, mengingat adanya perbedaan pandangan antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dan pada akhirnya akan menimbulkan ketidakpastian usaha bagi pelaku industri kehutanan,”ujarnya.

Gusti meminta pada DPR dan pemerintah  untuk tidak mengesahkan RUU  saat ini. Demi kemaslahatan umat dan Indonesia adil makmur. Sebaiknya RUU Pertanahan disosialisasikan lebih dulu kepada segenap multi pemangku kepentingan secara transparan, partisipatif dan akuntable. RUU pertanahan diyakini menyangkut kepentingan banyak sektor, termasuk sektor kehutanan dan bukan hanya semata-mata persoalan tanah dan penguasaan lahan.

Pemerintah dan DPR,  kata Gusti, agar melanjutkan pembahasan RUU Pertanahan ini ke periode DPR RI berikutnya 2019-2024 agar memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan masukan secara komprehensif.

 “DPR seharusnya tidak mengesahkan RUU Pertanahan pada masa transisi seperti sekarang. Sebab, RUU Pertanahan merupakan aturan yang sangat strategis dan memiliki dampak besar sehingga pengesahannya membutuhkan pembahasan yang intensif,” ujarnya. (OL-09)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya