Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
PELARANGAN penggunaan antibiotic growth promoter (AGP) sebagai imbuhan pakan efektif diterapkan Kementerian Pertanian sejak 1 Januari 2018.
Residu AGP hasil produksi ternak dikhawatirkan menimbulkan resistensi bagi orang yang mengonsumsi daging atau telur.
Ketua Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) Irawati Fari menuturkan pelarangan AGP merupakan upaya pengendalian antimiktoba resisten (AMR) dari dampak pemggunaan antibiotik yang sembarangan di peternakan baru berjalan sekitar 1,5 tahun sejak diterapkannya aturan Undang-Undang No 18/2009 jucto No 41/2014 tentang Peternakan Kesehatan Hewan. Pasal 22 ayat 4c menyebutkan "Setiap orang dilarang menggunakan pakan yang dicampur hormon tertentu dan atau antibiotik dalam imbuhan pakan".
Sementara penggunaan AGP, ujar Ira, telah dilakukan oleh peternak selama bertahun-tahun. Menghilangkan penggunaan AGP di peternakan bukan pekerjaan mudah. ASOHI, imbuhnya, turut melakukan sosialisasi agar peternak menggunakan antibiotik secara bijak. Melalui anggota yang ada di seluruh provinsi, kata Ira, pihaknya mencoba mengendukasi peternak dan bekerja sama dengan pemangku kepentingan terkait termasuk pemerintah dalam hal pengawasan.
Baca juga: Cegah Unggas Sakit dengan Biosekuriti 3 Zona
"Tidak mudah karena AGP sudah digunakan bertahun-tahun, mengubah kebiasaan itu yang harus dibutuhkan edukasi dan pengawasan berkelanjutan," ujarnya ketika dihubungi Media Indonesia, beberapa waktu lalu.
Ia menegaskan bahwa sebelum melakukan edukasi pada peternak, ASOHI harus memastikan setiap anggotanya paham mengenai peraturan tersebut termasuk tim pemasaran dan pegawai lapangan yang menjual secara langsung obat-obat hewan pada peternak.
Kini, produk obat hewan alami mulai dilirik oleh peternak & pabrik pakan ternak sebagai pengganti AGP diantaranya enzim, probiotik, prebiotik, herbal, acidifier, essential oil, dan fitofarmaka. Namun, pengembangannya belum terlalu menggembirakan. Peternak, ujar Ira, masih mencari-cari komposisi formulasi yang tepat sebagai pengganti AGP untuk diberikan pada ternak.
"Sekitar 90% bahan baku obat-obatan kan masih impor. Di lapangan belum cukup banyak produk-produk probiotik untuk ternak karena masih dalam uji trial," tuturnya.
Selain itu, di samping masih mencari jenis produk obat alami untuk hewan yang efektif digunakan. Ira menyampaikan peternak juga memikirkan biaya. Untuk beralih ke produk tersebut, peternak harus menggeluarkan biaya lebih besar sekitar tiga hingga empat kali lipat jika dibandingkan dengan AGP.
Perusahaan obat hewan pun kini masih berusaha mengembangkan sendiri produk-produk obat alami untuk hewan. Diakuinya kebanyakan produk masih impor sehingga harganya relatif mahal. Berbeda jika perusahaan dalam negeri bisa memproduksi sendiri biaya produksi bisa ditekan.
"Negara lain sudah memberlakukan pelarangan AGP jauh lebih dulu dari Indonesia. Kita tidak kesulitan untuk impor. Tetapi untuk produksi dalam negeri masih sangat kurang," paparnya.
Indonesia agak tidak tertinggal dalam pengembangan obat-obatan pengganti AGP. Para peneliti Indonesia terus berupaya dalam pengembangan obat-obatan pengganti AGP. ASOHI mendorong anggotanya bekerja sama dengan balai penelitian serta perguruan tinggi untuk melakukan riset. Ketika ditanya mengenai insentif yang diberikan pemerintah bagi perusahaan obat yang berinvestasi dalam pengembangan tersebut, menurut Ira hal itu belum ada.
"Sejauh ini belum ada insenstif dari pemerintah tapi mereka memprioritaskan dalam hal registrasi apabila ada produk-produk obat baru pengganti AGP, " tuturnya.
Ia berharap lebih banyak penelitian dikembangkan sebab ada banyak sumber bahan baku dari Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk produk obat hewan alami pengganti AGP. Ia pun menilai peneliti juga sudah banyak melakukan penelitian awal mengenai hal itu.
Di kalangan peternak, cara lain pengganti AGP ialah menggunakan probiotik.
Kusno Waluyo ,45, peternak layer dari Peternakan Sekuntum Herbal, di Desa Toto Projo Kecamatan Probolinggo, Lampung Timur, Provinsi Lampung mengaku mulai melakukan ujicoba pemberian probiotik pada ayam miliknya sejak 2008 lalu.
Ia mempunyai kandang yang dinamakan kandang ujicoba di pekarangan belakang rumahnya. Kandang berisi 150 ekor ayam. Sebagian diberikan pakan ditambah probiotik, sebagian tidak untuk melihat efektivitasnya.
"Konsentratnya membuat sendiri, bukan pakannya. Pakannya masih buatan pabrik dicampur konsentrat," tutur Kusno ketika Media Indonesia menyambangi peternakannya, pada Juni 2019 lalu.
Konsentrat yang didalamnya terdapat jagung, kacang-kacangan dan bahan lainnya, ia campur dengan probiotik alami yang ia sebut sebagai herbal untuk meningkatkan nafsu makan dan pertumbuhan unggas-unggasnya. Bahan-bahan yang ada dalam probiotik antara lain madu, jahe, temulawak, brontowali, dan kunyit.
"Kalau sudah ada gejala seperti enggak mau makan, harus cepat-cepat ayamnya kita kasih minum herbal," tutur Waluyo.
Ia menyakini bahwa pemberian pakan berkualitas dan probiotik bisa menjaga kesehatan usus serta daya tahan tubuh unggas, dan meningkatkan sistem kerja sel dan organ sehingga ayam tidak mudah sakit.
Hal itu dibuktikan dalam penelitian oleh Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Soedirman Prof. Ning Iriyanti. Dalam risetnya yang berjudul "Pakan Fungsional Sebagai Upaya Pemenuhan Tuntutan Akan Kemandirian Imbuhan Pakan Dan Untuk Mendorong Terwujudnya Keamanan Produk Unggas yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal)" diketahui bahwa pemenuhan pakan imbuhan dengan mengandalkan sumber daya alam lokal seperti minyak ikan lemuru, probiotik isolat indegenous, prebiotik alami, dan ramuan herbal fermentasi, dapat meningkatkan keseimbangan mikroflora dalam saluran cerna sehingga sistem imun dan performa unggas meningkat. (OL-8)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved