Headline

DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.

Dobrak Stigma dan Diskriminasi ADHIV lewat Main Denganku, Yuk!

Dede Susianti
28/7/2019 20:18
Dobrak Stigma dan Diskriminasi ADHIV lewat Main Denganku, Yuk!
Atiqah Hasiholan bermain bersama dengan ADHIV dalam kegiatan Main Denganku, Yuk!(MI/Dede Susianti)

BERINTERAKSI atau bahkan bermain dengan Anak dengan HIV (ADHIV) tidak menimbulkan resiko penularan HIV. Kontak sosial dengan ADHIV. seperti berpelukan, bersentuhan, dan berbagi alat makan pun tak akan menularkan HIV.

Hal itu menjadi pesan bagi masyarakat dalam ajang "Main denganku, Yuk1 yang digagas sejumlah orang lintas profesi dengan mengajak ADHIV bermain bersama di Taman Budaya, Sentul, Kabupoaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (28/7)

Kegiatan yang melibatkan juga sejumlah figur publik seperti aktris Atiqah Hasiholan dan suaminya, Rio Dewanto itu didukung penuh oleh Lentera Anak Pelangi yang merupakan program pendampingan ADHIV di DKI Jakarta dan Yayasan Tegak Tegar.

"Kita dari berbagai macam profesi, ada dokter, jurnalis seperti saya di Metro TV, ada yang bergerak di properti, pengusaha. Kita gak mikir nama atau yayasan. Kita kumpulan orang-orang yang merasa peduli dengan ADHIV,"kata Rory Asyari, jurnalis MetroTV yang juga jadi salah satu penggagas acara.

Lewat ajang Main Denganku, Yuk!, Rory berharap, ADHIV bisa merasakan kepedulian orang-orang di sekitar mereka yang akhirnya menimbulkan keberanian mereka untuk berekspresi serta mengasah kreatifitas.

Baca juga : 109 Orang di Kota Bekasi Idap HIV

Kegiatan Main Denganku, Yuk! diisi dengan menggambar dan bermain layangan bersama.

Menurut Rory, Main denganku, Yuk!, bisa dijadikan model untuk diimplementasikan secara nasional dan menunjukkan bahwa main dengan anak-anak dengan HIV itu tidak ada resiko untuk menularkan.

Menurut dr Adiyana Esti, salah satu penggagas Main denganku, Yuk! lainnya, kegiatan tersebut sebagai salah satu upaya mendobrak stigma dan diskrimnasi terhadap ADHIV.

Dia mengatakan, stigma dan diskrominasi menjadi penyebab utama hak anak dengan HIV dilanggar, serta menghambat penanggulangan HIV/AIDS. Diantaranya hak untuk bermain dan belajar, hak diperlakukan setara, hak berekspresi, dan hak berprestasi.

Dia menjelaskan, sama seperti anak lainnya, ADHIV juga memerlukan dukungan sosial untuk tumbuh. Selain dengan tidak mendiskriminasi mereka, dukungan dapat berupa menciptakan lingkungan bermain dan belajar yang inklusif.

Di saat anak belum dewasa dan memahami apa yang terjadi dengan dirinya, lanjutnya, stigma dan diskriminasi terhadap mereka, menambah beban psikologis. Terlebih ketika mereka harus bergelut dengan kondisi kesehatannya.

"Stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ADHA adalah karena kurangnya pemahaman masyarakat. Padahal kontak sosial, termasuk bersentuhan, berpelukan dan berbagi alat makan, tidak menularkan HIV. Main denganku yuk, ingin mengajak siapapun bermain dengan ADHIV dan mengembalikkan hak mereka untuk bermain. Jangan sampai atau kita tidak ingin ada kejadian seperti di Solo lagi, tidak ingin ada kejadian seperti di Samosir lagi,"ungkapnya.

Seperti diketahui, terjadi kasus penolakan masuk sekolah terhadap tiga anak dengan HIV di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara (Oktober 2018) dan 14 anak di Solo, Jawa Tengah (Februari 2019).

"Yang di Solo mereka akhirnya harus tinggal di pemakaman karena ditolak, mereka diusir terus. Hal itu merenggut hak mereka sebagai anak. Padahal, hak-hak anak dijamin oleh Undang-undang perlindungannya anak dan Indonesia memperingati Hari Anak Nasional Indonesia setiap tanggal 23 Juli. Jadi hari anak ini adalah momentum,"pungkasnya.

Sementara itu Natasya Sitorus, Manajer Advokasi Lentera Anak Pelangi yang menaungi sejumlah ADHIV mengatakan, kegiatan ini memberikan dorongan moril dan psikologis yang besar bagi anak-anak asuh mereka.

"Kegiatan ink sangat positif dalam memberikan dukungan moril bagi mereka, sehingga mereka tidak merasa terasingkan dan menjadi bagian dari lingkungan sekitar. Kami berharap semakin banyak masyarakat yang sadar, bahwa ADHIV juga memilik hak bermain dan diterima di lingkungan sekitar,"kata Natasya.

Baca juga : AS dan Indonesia Perluas Kolaborasi untuk Tanggulangi HIV/AIDS

Pada kesempatan yang sama, pengurus Yayasan Tegak Tegar Veronica Juwaryanti, menyatakan harapannya agar kegiatan seperti itu akan semakin banyak dilakukan.

Hal Itu untuk membantu menghapus stigma dan diskriminasu khususnya terhadap ADHIV.

"Kegiatan bermain bersama ADHIV ini kami harapkan menjadi norma baru dalam kehidupan bermasyarakat kita. Bila kegiatan ink dilakukan secara masif, bukan berarti tidak mungkin stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ADHIV lama-lama akan terkikis. Peran pemerintah juga sanagat dibutuhkan untuk mensosialisasikan gerakan ini,"ungkap Veronica.

Menurut data Kementerian Kesehatan per Maret 2019, dari 338.363 jiwa jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan, 4.121 diantaranya adalah anak dengan HIV.

Sementara menurut data World Helath Organization (WHO), di Indonesia diperkirakan terdapat 14.000 ADHIV dan yang tercatat menerima pengobatan adalah 3.500 anak.

Menurut WHO, perkiraan jumlah ADHIV di Indonesia sebanyak 14.000 anak tersebut memiliki rentang usia 0-14 tahun. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya