Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Melanglang Dunia dengan Citra

Tosiani
11/7/2019 02:20
Melanglang Dunia dengan Citra
Travel Fotografer, Konsultan Citra(MI/Tosiani)

KESAN ramah dan kooperatif terpancar pada diri Nala Rinaldo, 57, saat Media Indonesia menemuinya di kawasan Cilandak, Jakarta, Selasa (2/7). Nala kini merupakan seorang fotografer perjalanan, sekaligus juga konsultan citra.

Ya, bisa dibilang 'kini' karena profesi tersebut sebenarnya baru dilakoni Nala sekitar 6,5 tahun terakhir. Karier jebolan Desain Grafis, Institut Teknologi Bandung (ITB) itu bermula dari bidang periklanan.

Pada kurun 1992 hingga 1997, ia bekerja sebagai art director pada perusahaan advertising Lowe. Pada bidang pekerjaan ini, Nala benar-benar memanfaatkan ilmunya saat kuliah. Ia juga mengembangkan pengalaman membuat image sebuah produk, seperti pasta gigi Close Up.

Lepas dari advertising, Nala bergabung dengan stasiun televisi ANTV menjadi general manager production pada 1997. Namun, setelah dua tahun, ia kembali ke bidang advertising dengan bergabung pada J Walter Thompson sebagai creative director. Saat itu, Nala sempat diminta pihak Universal Musik untuk membangun image grup musik RAN dan Four Seasons.

"Bikin image itu perlu survei, style apa yang disukai orang, bagaimana mereka tampil, bagaimana dan siapa dari mereka yang harus ngomong dengan wartawan, aku melatih RAN untuk seperti itu. Demikian juga dengan Four Seasons," tutur Nala.

Nala kembali ke dunia layar kaca pada 2002, sebagai General Manager Production ANTV dan kemudian ke TPI, empat tahun setelahnya. Di TPI, Nala ditantang bisa membuat program dangdut paling besar dalam sejarah pertelevisian nasional saat itu, Kontes Dangdut Indonesia (KDI).

"Padahal, saya tidak ngerti musik dangdut, tapi saya ngerti bagaimana bikin image yang saya pelajari sewaktu kerja di advertising. Lalu jadilah program audisi penyanyi dangdut KDI, saya yang create," ungkapnya.

Selagi bekerja di TPI, Nala dan krunya kerap berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Bali, Medan, dan Makassar. Setiap bepergian, ia memanfaatkan waktu luangnya untuk memotret, memanfaatkan pengetahuan dasar fotografi yang pernah ia dapat selama tiga semester di ITB. Mulanya, ia sekadar memotret dengan ponsel, kemudian kamera saku, dan akhirnya berlanjut ke kelas yang lebih canggih, kamera DSLR.

"Untuk mengembangkan fotografi dengan kamera digital dan menjadi profesional fotografi, saya pelajari secara autodidak. Namun, dasarnya pernah belajar foto saat kuliah," tutur pria dengan 711 ribu pengikut di akun Instagram-nya tersebut.

Jatuh hati dengan dunia fotografi, Nala lambat laun merasa kekurangan waktu untuk memotret karena selama terikat perusahaan, ia kerap harus bekerja tujuh hari dalam seminggu. Pada 2011, ia kemudian hijrah ke sebuah rumah produksi (production house/PH) dengan harapan memiliki waktu yang cukup untuk melakukan hobinya itu.

"Saya merasa makin tua dan ingin melihat dunia lebih banyak. Waktu kerja di PH, tiap Sabtu dan Minggu saya jadi traveler sambil motret. Ada yang pakai biaya sendiri, ada yang diundang," katanya.

Setelah merasa cukup bekal kemampuan dan pengalaman, pada 2014, Nala memutuskan keluar dari PH. Ia pun menjadi fotografer dan videografer profesional penuh waktu, sekaligus konsultan citra independen. Hal itu ia lakukan agar memiliki waktu yang tidak terikat.

Di awal kerja mandiri, Nala memulai dengan menjual hasil fotonya pada pihak lain, di antaranya Agensi.com. Ada pula yang membutuhkan fotonya untuk kalender serta foto dan videonya untuk iklan. Sejumlah pihak seperti Wonderful Indonesia juga mulai menggunakan jasa foto dan videonya.

"Untuk video kadang dikerjakan dengan tim karena satu momen harus menggunakan beberapa kamera dan semua perlu kontrol. Tapi kalau foto, 100% saya kerjakan sendiri," kisahnya.

Adapun jasanya sebagai konsultan citra kerap direkomendasikan teman-teman dan jaringannya kepada klien. Apalagi, kemampuan Nala sudah cukup dikenal. Ia juga kerap memberikan workshop terkait dengan bidang profesional yang ditekuninya pada berbagai kalangan.

Baru-baru ini, Nala ke Jepang bersama tim skateboard yang menggunakan jasanya untuk membuat image olahraga itu lebih dikenal secara membumi dan profesional. Nala jugalah yang membuat image kosmetik asal Turki, Molia, milik Siti KDI.

Selama bekerja mandiri, Nala mengakui penghasilannya amat fluktuatif, kendati tidak dapat dikatakan sedikit. Untuk jasa foto dan video, ia mendapat rata-rata antara Rp5 juta sampai Rp30 juta per bulan. Adapun penghasilannya dari konsultan citra berkisar Rp40 juta sampai Rp80 juta per proyek. Dalam setahun ia bisa menangani tiga hingga empat proyek.

Nala juga tidak jarang mendapat sponsorship. Seperti banyak juru foto lainnya, ia rajin mengunggah hasil-hasil jepretannya ke media sosial. Salah satu produsen kamera dunia, Nikon, meliriknya dan sempat mensponsori Nala selama 2016 hingga 2018. Saat ini Nala mendapat sponsorship dari produsen ponsel OPPO.

Berani
Keberanian Nala untuk melakukan perubahan pada usia yang tak lagi muda membuat ia berhasil merengkuh mimpinya, yakni melihat dunia dan merekamnya melalui mata lensa. Profesi tersebut membuat ia telah melanglang tidak kurang dari 18 negara di dunia dan 80 lebih pulau di Indonesia.  

"Mimpi saya ingin melihat dunia sebanyak mungkin. Saya berprinsip, cover the earth before the earth cover you. Jadi, saya ingin pergi ke banyak tempat lagi," ujarnya.

Selain memotret, bepergian ke berbagai tempat membuat Nala selalu mempelajari hal baru. Seperti saat ke Siberia, ia mendapati harta karun berupa pemandangan yang luar biasa cantik di wilayah Rusia yang didominasi es tersebut. Padahal, Siberia dulunya dikenal sebagai tempat pembuangan para pembangkang pada era rezim Uni Soviet.

"Orang yang dibuang ke Siberia juga memiliki kehidupan yang layak dan itu dijamin pemerintah. Sebenarnya daerah itu sangat layak untuk didatangi," tutur Nala.

Nala memang sengaja diundang pihak Siberia untuk mengubah citra wilayah tersebut. Selain dikenal sebagai tempat pembuangan orang, image yang tertanam di benak orang mengenai Siberia ialah jika pergi ke sana, besar kemungkinan akan menjadi santapan beruang. Dua kali dalam tahun ini Nala mengunjungi tempat yang sesungguhnya normal dan indah itu.

Fotografi juga membawa Nala ke tempat yang tak pernah ia bayangkan, Kutub Utara. Nala yang sebenarnya tidak tahan dingin mesti bertahan saat bekerja pada suhu minus 18 derajat pada suatu siang, di danau yang membeku. Sementara itu, suhu akan semakin drop pada malam hari. Kedinginan sempat membuatnya sakit, tapi itu justru menjadi pengalaman paling berkesan.

"Dua minggu di sana, tangan sampai beku. Saya motret pakai sarung tangan. Mulut juga harus ditutup terus, soalnya kalau tidak ditutup tidak boleh tarik nafas. Tangan dan bibir sempat biru dan semalaman kepala pusing, tapi entah kenapa masih ingin ke sana lagi," ucap Nala yang juga berharap dapat menginjak tanah Afrika.

"Umur saya makin pendek, masih banyak dunia yang belum saya lihat, masih banyak (tempat) yang ingin saya kunjungi," tutupnya. (M-2)

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya