Imam Islamic Center New York Muhammad Syamsi Ali melihat banyaknya perselisihan diberbagai belahan dunia termasuk Indonesia mengatas namakan agama terjadi karena ketidakpahaman umat akan agama yang mereka yakini.
"Beragama bukan sekadar persoalan ibadah yang dilakukan, melainkan tampilan nilai sosial yang kita pelajari dari agama yang kita yakini. Sebab agama bukan datang untuk Tuhan, melainkan untuk umat. Jangan salah kaprah menuhankan agama. Sama seperti kitab suci. Kesuciannya seharusnya dibumikan, diaktualkan ke kehidupan kita. Bukannya menggantungkan kitab suci setinggi langit," Ujar Syamsi Ali dalam pertemuan FMJB (Forum Masyarakat Jakarta Bersatu) bersama ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika), MAZIKA (Majelis Zikir Kebangsaan) & FMKI (Forum Masyarakat Khatolik Indonesia) dengan tema "Membumikan Pesan Perdamaian Agama & Kepercayaan", di Jakarta, Minggu (13/11).
Sesungguhnya konflik agama, kata Muhammad Syamsi tidak akan terjadi bila manusia memahami agamanya, dengan platform yang sama. Penganutan akan agama pun harus dilakukan karena pilihannya, bukan suatu paksaan.
"Platform sama yang dimaksud bahwa tidak menyembah Tuhan selain Allah, dan bukan menyembah agama, hawa nafsu, afiliasi, mengatasnamakan Allah. Sebab setiap manusia apapun agamanya dilihat sebagai agen Tuhan. Ketika seseorang dipaksa meyakini sesuatu itu namanya kemunafikkan. Islam sendiri mengatakan tidak ada paksaan dalam agama," tukas Muhammad Syamsi.
Tendesi ekstrimisme atau kefanatikan dalam agama bisa terjadi di semua kelompok agama. Sebabnya ketidaktahuan dan menjadi religius teks yang salah dipahami.
"Banyak yang melupakan nilai tauhid. Mereka memahami konsep satu Tuhan namun masih membeda-bedakan satu manusia dengan yang lainnya dan membangun prasangka negatif akan orang yang berbeda keyakinan dengan mengambil kesimpulan dari balik pintu,"
Nilai Tauhid, terang Muhammad Syamsi, mengartikan satu Tuhan dengan refleksi satu kemanusiaan. Bila manusia sebagai agen Tuhan percaya Tuhan itu, mereka wajib menjaga ketauhidan dan moralitas kesatuan Tuhan.
"Bahwa kita semua dengan apapun keyakinan, adalah satu keluarga. Maka, Taaruf , saling mengenal merupakan langkah awal membangun kesepahaman. Bila saling memahami, konflik agama dapat dicegah," tutur Muhammad Syamsi.
Pada kesempata sama Anggota Komisi 8 DPR RI sekaligus Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika Maman Imanulhaq menyampaikan dari tantangan untuk membumikan pesan damai agama, komitmen sejak Indonesia merdeka tahun 1945, antara lain bagaimana negara menegakkan hak , salah satunya agama.
"Tidak ada agama yang diakui dan tidak diakui. Satu orang yang yang berbeda agama tetap harus dihargai oleh negara. Indonesia harus menjadi negara yang bisa menyejahterakan agama penduduknya," ucap Maman.
Namun, Maman melihat, tidak terjadinya agama untuk transformasi perdamaian saat ini antara lain karena banyak urusan agama dimanfaatkan orang untuk penyesatan dan menjadikannya alasan untuk membenci umat lain.
"Ada dua ideologi yang membahayakan, pertama transnasional dimana merasa Islam berasal dari Arab dan mengimpornya mentah-mentah dan memaksakan kita untuk berlaku seperti Islam Arab. Padahal perbedaan dari budaya yang masuk di agama, adalah untuk saling mengisi dan memberi nilai," jabar Maman.
Dalam kacamatanya tidak semua Islam dari Arab tersebut yang sepenuhnya benar. Dia mencontohkan beberapa kejadian pada musim haji lalu yang merupakan pembunuhan massal, namun dianggap pemerintah Arab sebagai takdir semata. Yang kedua, ideologi transactional, dimana berlaku agama yang berorientasi dengan uang.
"Hanya karena dia negara Islam, bukan berarti kita mengikutinya persis seperti disana. Beragamalah secara substansial, mengamalkan nilai-nilainya dan bermanfaat bagi orang lain. Jangan beragama secara simbolik. Kepada orang yang berbeda dengan kita, tak perlu bertanya apa agamamu, tapi tanya seberapa jauh agama mendorongmu menjadi bermanfaat bagi orang lain," tukas Maman. (Q-1)