Headline

Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.

Fokus

Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.

COP21, Skema Hutan di Kesepakatan Paris

Siti Retno Wulandari
13/12/2015 00:00
COP21, Skema Hutan di Kesepakatan Paris
(ANTARA FOTO/HO/Ulet Ifansasti)
Pembahasan terkait pengelolaan hutan menjadi salah satu poin penting yang tertuang dalam Kesepakatan Paris Paris Agreement hasil KTT Perubahan Iklim (COP21) di Le Bourget, Paris, Perancis. Kesepakatan yang disetujui oleh 195 negara partisipan meminta setiap negara untuk memberikan insentif positif terhadap upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Pun dengan pencantuman peran konservasi dan pengelolaan hutan yang lestari sebagai cara untuk meningkatkan penyerapan karbon oleh hutan di negara-negara berkembang.

Paparan tersebut tertuang dalam artikel lima, poin kedua pada Paris Agreement, dan merupakan salah satu tawaran Indonesia yang masuk dalam kesepakatan tersebut. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, sudah mengatakan sebelumnya terkait dengan tawaran Indonesia untuk memperhatikan peran pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan konferensi yang membahas masa depan bumi. “Paket REDD, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang sebelumnya hilang sudah masuk kembali dalam poin kesepakatan dengan nama Sustainable Forest Management,” kata Siti Nurbaya sebelum kesepakatan tersebut disetujui, Sabtu(12/12) waktu Paris.

Sementara, Manajer Kampanye WALHI (Friends of the Earth Indonesia), Kurniawan Sabar mengatakan kesepakatan akan memberikan dampaknsignifikan bagi masyarakat dan lingkungan di Indonesia. Ia tidak melihat adanya jaminan perubahan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Sehingga lingkungan dan masyarakat Indonesia yang rentan dan terdampak akibat perubahan iklim akan semakin berada pada kondisi yang mengkhawatirkan.

“Jika pengelolaan hutan, pesisir dan laut, serta energy Indonesia masih menjadi bagian dari skema pasar untuk memenuhi hasrat negara maju dalamupaya mitigasi perubahan iklim, maka tidak aa harapan untuk perbaikan pengelolaan sumber daya alam yang lebih maju,” tukas Kurniawan.

Tidak Sempurna

Meski tidak sempurna, namun kesepakatan yang disetujui bukan berarti tidak bisa diteruskan untuk diimplementasi. Usai ketukan palu sebagai penanda persetujuan dari para negara partisipan, setiap negara memberikan komentar terkait dengan proses yang berlangsung sejak tanggal 30 November-12 Desember 2016. Ketua Juru Runding Tiongkok, Xie Zhenhua mengakui kesepakatan yang belum sempurna, namun ia memastikan hal tersebut bukan menjadi halangan bagi negara-negara di dunia untuk melangkah lebih maju.

“Kita hidup pada jaman yang belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga harus menciptakan langkah-langkah yang juga lebih maju,” tukasnya seperti yang disiarkan pada webcast UNFCCC, di Sabtu(12/12) waktu Paris.

Pun dengan Singapura, yang menjadi ketua dalam forum negara rentan akibat perubahan iklim, menyebut kita bukan hidup dalam negara yang sempurna, sehingga persoalan tidak dapat diselesaikan dengan mudah. Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan mencontohan Protokol Kyoto yang dibuat dengan ambisi serta perhatian yang tinggi namun gagal lantaran kurangnya partisipasi secara universal.

“Tanpa partisipasi menyeluruh, kita akan gagal di generasi masa depan. Karena itu Singapura selalu menekankan pentingnya perjanjian yang mengikat secara hukum dan berlaku untuk semua,” ucap Balakrishnan.(Q-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya