Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
BADAN Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan dana yang digunakan untuk tanggap darurat bencana dan penanggulangan pascabencana sudah hampir habis. Meski demikian, BNPB memastikan dana tersisa cukup untuk penanganan fase tanggap darurat hingga pascabencana di tiga kabupaten terdampak gelombang tsunami, yakni Pandeglang, Serang, dan Lampung Selatan.
"Kerusakannya tidak terlalu besar, rumah serta infrastruktur tidak terlalu banyak yang rusak. Dana hampir habis tetapi masih cukup untuk penanganan dan pascabencana di Pandeglang, Serang, serta Lampung Selatan," ujar Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam konferensi pers terkait penanganan tsunami Selat Sunda, di Gedung BNPB Jakarta, Rabu (26/12).
Dana untuk penanganan bencana yang diberikan kepada BNPB pada 2018 sebesar Rp760 miliar, kemudian di 2019 diperkirakan anggarannya menjadi Rp610 miliar.
Melihat dari banyaknya bencana yang terjadi sepanjang 2018, imbuh Sutopo, BNPB berharap kebencanaan menjadi prioritas dalam pembangunan nasional. Hal ini karena dampak kerugian ekonomi akibat bencana juga cukup besar.
Baca Juga: Pemerintah Cairkan Dana Bencana Sulteng Rp560 Miliar
Komitmen pemerintah pusat, kata Sutopo, sangat diperlukan dalam anggaran kebencanaan. Pasalnya, pada 2014 hingga 2017 masalah bencana sempat tidak masuk dalam prioritas nasional. Padahal, sudah ada master plan di antaranya penanganan tsunami yang dibuat sejak 2013. Selain itu ada anggaran khusus untuk hal tersebut hingga 2014.
"Program itu berhenti. Pada 2013 hingga 2014 penanganan tsunami dalam master plan menggunakan dana khusus bukan dana rutin dan diberikan pada lintas kementerian/lembaga termasuk BNPB," papar Sutopo.
Dana tambahan khusus yang tertuang pada master plan, lanjutnya, diberikan pada BNPB untuk BPBD di daerah, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk pembangunan shelter evakuasi, dan lembaga lain seperti Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk pembuatan alat pendeteksi tsunami secara mandiri.
"Ke depan master plan itu harus dilanjutkan karena belum tercover semua wilayah Indonesia," imbuhnya.
Jauh dari Ideal
Selain itu, peran pemerintah daerah sangat diperlukan untuk mitigasi dan penanganan bencana. Sutopo mengungkapkan anggaran bencana yang dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) jauh dari ideal.
BNPB melihat anggaran tersebut masih sangat minim. Seharusnya, terang Sutopo, dana kebutuhan yang dialokasikan untuk BPBD oleh pemerintah daerah sebesar 1% dari APBD, tetapi faktanya hanya 0,02%. Dana itu digunakan untuk mitigasi prabencana, tanggap darurat maupun penanganan pascabencana.
"Apalagi menghadapi pemilu, dana tersebut banyak dikurangi," ungkapnya.
Selain pendanaan, Sutopo menjelaskan sarana dan prasarana untuk deteksi dini yang tersedia masih jauh dari kebutuhan yang ada. Ia mencontohkan early warning system (EWS) untuk tsunami. Buoy atau alat pendeteksi tsunami yang dimiliki Indonesia sudah tidak berfungsi. Dari total 22 buoy di Indonesia yang dipasang sejak 2008 pascatsunami di Aceh, alat itu sudah tidak digunakan pada 2012 lalu.
"Sebagian besar rusak karena vandalisme dan biaya pengoperasiannya sangat mahal," tukasnya.(OL-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved