Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
TIDAK semua klien yang datang ke Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) ingin melakukan aborsi. Kebanyakan mereka melakukan konseling untuk mencari solusi terbaik apa yang sebaiknya dilakukan terkait kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) itu.
Penggunaan alat-alat kontrasepsi terkadang bisa mengalami kegagalan yang menyebabkan kehamilan tidak diinginkan terjadi. Padahal, pasangan telah berusaha mengatur jarak kelahiran dengan menggunakan alat-alat kontrasepsi tersebut.
Pada pasangan menikah tentu ini bukan masalah yang besar, sebaliknya jika kehamilan ini terjadi pada pasangan yang belum menikah dan tidak tercatat pada institusi negara.
Ketakutan terhadap keluarga karena kehamilan yang tidak dikehendaki, serta demi menghindari beragam pendapat negatif di tengah lingkungan masyarakat, pasangan tak menikah tersebut biasa mengakses layanan-layanan yang tidak aman (unsafe abortion) untuk menghentikan kehamilan.
Hal ini tidak hanya merupakan perbuatan melanggar hukum karena menghentikan kehamilan dengan sengaja, tetapi juga bisa membahayakan nyawa perempuan hamil itu sendiri.
Menurut Direktur Eksekutif PKBI Pusat Satyawanti Mashudi, berdasarkan hasil pemetaan 2014 lalu, PKBI hanya melayani sekitar 20%-30% dari seluruh klien yang mengakses layanan konseling kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD). Artinya, bisa dibayangkan bahwa sebagian besar klien akan mengakses layanan KTD itu di tempat lain.
"Penyedia layanan itu bisa saja tenaga medis yang memiliki keahlian, klinik-klinik bahkan dukun juga masih menjadi pilihan bagi sebagian kecil masyarakat. Bahkan, saat ini media internet juga telah menjadi tempat mencari informasi soal layanan ini," kata Satyawanti saat menghadiri workshop 'Global Comprehensive Abortion Care Initiative (GCACI)/Program Layanan Aborsi Aman yang Komprehensif dan Program Peduli Inklusi Sosial pada Anak yang Menjalani Pidana Penjara (AMPP)' di Wisma PKBI, Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (21/9).
Kegiatan tersebut digelar tidak hanya memberikan informasi ketersediaan layanan pencegahan dan penanganan KTD berbasis konseling dan kontrasepsi yang aman saja, tetapi juga meluruskan pemahaman masyarakat bahwa bicara aborsi itu bukanlah hal yang jahat, tabu ataupun dosa. Selama ini ada anggapan bahwa kalau bicara aborsi berarti aib terkait kehamilan yang tidak diinginkan.
"Padahal aborsi juga diperbolehkan, tentu dengan persyaratan dan alasan-alasan tertentu seperti alasan medis (risiko kehamilan), akibat perkosaan serta usia kehamilan yang tak lebih dari 6-8 minggu," kata National Project Manager GCACI, Dewi Larasati.
"Tak semua klien yang datang ke PKBI ingin melakukan aborsi, kebanyakan mereka hanya ingin tahu apa yang sebaiknya dilakukan terkait kehamilannya (KTD) itu. Selama proses konseling berlangsung klien harus didampingi oleh pasangan atau pihak keluarga, paling tidak ada pendampingnya," tambah Dewi.
Data PKBI menyebutkan sebanyak 78.544 klien meminta layanan konseling KTD sejak 2007 hingga Juni 2018. Artinya, kebutuhan akan layanan konseling mencapai 7.141 klien per tahun atau 587 klien per bulan atau 20 klien per hari. Ini belum termasuk 199.148 klien yang mengakses layanan KB ke PKBI, yang sebagian besar dari mereka adalah perempuan usia subur.
Berdasarkan undang-Undang dan peraturan yang mengatur tentang Kesehatan Reproduksi, termasuk di dalamnya terkait dengan aborsi ialah UU Nomor 36 Tahun 2009, PP 61 Tahun 2014, PMK Nomor 3 Tahun 2016, belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan perempuan akan akses layanan aborsi aman.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, bahwa penghentian kehamilan sebelum janin berusia 20 minggu karena secara medis janin tidak bisa bertahan di luar kandungan. Sebaliknya bila penghentian kehamilan dilakukan saat janin sudah berusia di atas 20 minggu maka hal tersebut adalah infaticide atau pembunuhan janin.
Selain itu, PKBI juga membuat suatu program yang berfokus pada pendampingan dan penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). Ini dilakukan untuk merubah pandangan negatif yang sebelumnya melekat pada ABH, agar terwujud kepedulian masyarakat terutama pemerintah agar mampu memberikan keputusan terbaik untuk ABH tersebut.
Keterlibatan masyarakat dan pemberian pembinaan yang sesuai dari petugas diharapkan bisa mengembalikan rasa percaya diri anak dan penerimaan anak di masyarakat.
"Saat ini ada 810 anak didik di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) telah mendapatkan hak-hak dasarnya seperti layanan pendidikan, kesehatan dan identitas diri," ujar Koordinator Nasional Pemberdayaan Masyarakat PKBI Pusat, Yudi Supriadi.
Program ABH ini terlaksana di lima kota di Indonesia, yakni Bengkulu, Bandung, Jakarta, Blitar, dan Palembang yang pada 2017 terpilih menjadi LPKA Terbaik di Indonesia. (OL-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved