Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Mencintai Puisi Membangun Kebudayaan

Zuq
15/7/2018 12:00
Mencintai Puisi Membangun Kebudayaan
(MI/BARY FATHAHILAH)

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan

kepada hujan yang menjadikannya tiada."

 

Demikianlah salah satu kutipan puisi milik pujangga kondang Sapardi Djoko Damono yang sukses membius siapa pun yang membacanya hingga ke langit ke tujuh nirwana.

Di usianya yang sudah lewat separuh abad, laki-laki kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940, mampu memenangkan hati kaum muda, melampaui zamannya. Kumpulan puisinya telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, Jepang, Arab, dan Mandarin.

Ia mengaku karya-karyanya lahir begitu saja. Tanpa ada yang dibuat-buat. "Saya suka nulis puisi, gitu aja," ujarnya saat berbincang dengan Media Indonesia lewat sambungan telepon, Kamis (12/7).

Sapardi yang akrab dipanggil SDD itu mengatakan tak ada paksaan untuk menyukai puisi, sekaligus tidak ada perintah untuk mendekatinya. Sebab bagaimanapun puisi ialah semacam kebutuhan.

"Sekarang ini buku puisi juga laku, orang suka baca puisi, orang suka nulis puisi di laptop, internet, segala macam. Enggak usah dipaksa-paksa saya kira," terang peraih penghargaan Anugerah Buku ASEAN 2018 itu.

Senada, pujangga kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, Sutardji Calzoum Bachri, 77, mengatakan puisi saat ini lebih dekat dengan kaum muda dan lebih meriah dari zamannya dulu. Itu terlihat dari banyaknya komunitas-komunitas penyair yang muncul.

Namun, Sutardji menggarisbawahi mau lebih mendekatkan lagi puisi pada generasi muda. Mereka harus terus diberi semangat. "Mereka akan mengetahui dan merasakan mana puisi bagus, mana puisi lebih bagus, dan seterusnya sehingga makin tajam perasaan mereka terhadap puisi, dan itu akan membuahkan nanti Sehingga muncul lagi penyair-penyair yang lebih baik," tegas peraih South East Asia Writer Awards pada 1979.

Bagi Sutardji, puisi bukan sekadar kata indah yang diuntai. Lebih dari itu, puisi ialah mimpi kehidupan. Artinya, puisi ialah ambisi-ambisi, semangat, cita-cita yang ingin diraih manusia dalam hidup. Mimpi-mimpi untuk kehidupan lebih indah, untuk kehidupan lebih baik, lebih sejahtera, dan lebih bahagia. "Puisi adalah mimpi bagi kehidupan," tegasnya.

Benang merah yang sama saat dirinya mendeklarasikan Hari Puisi Indonesia yang kini diperingati setiap 26 Juli. Sutardji berharap langkah itu akan menjadi sumber inspirasi untuk memajukan kebudayaan Indonesia.

Ia menegaskan, menjadi penyair memang bukan menjadi jaminan untuk bisa hidup secara layak. Puisi tidak bisa dijadikan untuk menggantungkan penghasilan utama. Bersyair haruslah berdasarkan cinta.

"Puisi itu soal jiwa. Jadi, bukan soal dijual seperti kita bikin tempe. Berpuisi harus karena gairah. Begitulah dasarnya," terangnya.

Hal itu juga yang dirasakan Mustari Irawan, 59. Ia mungkin sedikit di antara orang yang tidak bisa meninggalkan puisi di sela kesibukannya menjadi Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

Tidak hanya sebagai penikmat, enam buku kumpulan puisi telah lahir dari tangannya. Baginya, menulis ialah momen Irawan berdialog dengan dirinya. Dirinya mengaku ada sesuatu yang hilang ketika dia tidak menulis. Dialog itulah yang kemudian memunculkan kepekaan sosial dalam dirinya. "Saya merasa ada hilang dari diri saya kalau tidak menulis puisi," tegas penyair yang mempunyai nama pena Irawan Sandhya Wiraatmaja itu.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya