Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Bait Syair Kaum Milenial

Furqon Ulya Himawan
15/7/2018 11:00
Bait Syair Kaum Milenial
(MI/FURQON)

SEORANG lelaki duduk di pinggir pintu. Tangannya memegang buku puisi karya Linus. Dia lalu berjalan sambil mulutnya komat-kamit membaca mantra. Suara-suara mantra itu lalu keluar dari mulutnya, seperti orang kesurupan, suara itu semakin kencang dan terus menguar.

"Itu mantra puisi," kata Arial Karwa, 26, mahasiswa Jurusan Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta.

Begitulah suasana di taman belakang basecamp komunitas Ngopinyastro di Jalan Kaliurang Km 11, saat Media Indonesia berkunjung, Jumat (13/7) siang. Beberapa pemuda dan pemudi meriung. Mereka mengobrol apa saja tentang sastra, khususnya puisi. Ada yang bermain musik dan ada juga yang performa membaca puisi, seperti Arial Karwa.

Arial mengaku awalnya tidak mengerti tentang apa itu puisi dan bagaimana cara membuatnya. Dia sangat tertutup dan susah untuk mengeluarkan pendapat dalam forum. Namun, setelah bergabung di Ngopinyastro, dia mengaku mendapatkan manfaat yang berlimpah.

"Saya mulai belajar mantera-mantera dalam puisi," kata Arial.

Ngopinyastro yang beranggotakan belasan orang itu berdiri pada 2011, bermula dari kegelisahan anak-anak muda saat itu tentang kondisi sastra puisi yang memiliki jarak pada realitas masyarakat. Padahal, puisi lahir dari lingkungan sekitar, tapi karya-karya itu tak terdistribusikan dengan baik ke masyarakat. Semua terasa formal dan generasi muda tak mengenalnya.

"Kami hadir untuk mengembalikan puisi kepada masyarakat karena puisi itu lahir dari lingkungan masyarakat," kata Huhum Hambilly, 27, mahasiswa Jurusan Ekonomi Manajemen Universitas Negeri Yogyakarta.

Kebetulan mereka yang gelisah ialah orang-orang penikmat kopi. Di kedai kopi mereka meriung dan membincang sastra puisi. Bagi mereka, secangkir kopi mampu mencairkan suasana dan memunculkan ide-ide yang tak terduga. Itu pula alasan mengapa namanya Ngopinyastro.

Memang tak semua kedai kopi mau memberikan mereka ruang berekspresi, tapi mereka tetap melaju.

Setiap bulan mereka selalu melakukan apresiasi puisi di warung kopi. Mereka membacakan puisi dan berinteraksi dengan para pengunjung kedai kopi. Mereka memprovokasi pengunjung untuk berani berpuisi, berkarya, dan membaca. "Awalnya susah, banyak yang tidak menerimanya," katanya.

Tanpa disuruh pengunjung dengan sendirinya membaca puisi-puisi karya sastrawan Indonesia, seperti WS Rendra atau Chairil Anwar.

Kadang pengunjung kedai kopi juga telah mempersiapkan puisi karya sendiri. Mereka sudah tidak malu berkarya dan menunjukkan karya mereka kepada publik.

Sederhana

Mereka resah karena sedikitnya acara puisi yang diselenggarakan secara terbuka, juga menjadi alasan hadirnya Paviliun Puisi yang dibentuk pada Mei 2017. Setiap sabtu akhir bulan, mereka berkumpul untuk berbagi karya puisi dan karya seni lainnya di Paviliun 28, Jakarta. Siapa pun boleh datang, siapa pun berkesempatan untuk unjuk karya.

Kegiatan itu membawa arah pandang baru bahwa puisi ialah bentuk kesenian yang cair dan bisa dikolaborasikan dengan berbagai bentuk kesenian lain.

Gema syair juga menguar di dunia maya seperti yang terlihat dalam akun Instagram @wikipuisi. Mulanya, pengelola akun ini mencicit kutipan sajak di akun Twitter pribadinya. Hingga kemunculan Instagram, ia menggagas akun @wikipuisi saat 2016.

"Tujuan pertama kali bikin Wikipuisi ialah untuk berbagi puisi-puisi dari penyair Indonesia," ujar Kethut R Purnama saat dihubungi lewat surat elektronik.

Ia menganggap, kemunculan akun-akun puisi seperti yang dikelolanya ialah sebagai salah satu pintu masuk generasi milenial pada dunia sastra di era digital. "Wikipuisi hadir sebagai perantara antara penyair dan pembaca. Seperti contoh, saat Wikipuisi mem-posting puisi Joko Pinurbo lalu ada followers yang bertanya, Ini bukunya bisa dibeli di mana, harganya berapa? Lalu kami memberikan informasi dan meneruskan ke beberapa toko buku online yang kami tahu," ungkap lelaki yang kesehariannya disibukkan sebagai seorang desainer grafis dan fotografer.

Pegiat sastra di Warung Apresiasi Sastra (Waras) FKIP-UNSUR Cianjur, Jawa barat, Arbi Sanit, 28, mengatakan puisi harus dikenalkan dengan cara-cara yang baik dan sederhana sehingga anak muda yang bersentuhan dengan puisi menjadi perhatian dan menaruh hormat pada puisi.

Ia sendiri merasakan, berpuisi mempunyai banyak manfaat bagi dirinya. "Ada amanat yang bisa diambil dan banyak pelajaran yang bisa dipetik karena sastra banyak membawa kebaikan," ucap Arbi yang mengenal puisi dari ajakan kawannya di bangku kuliah.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya