Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
SCHISTOSOMIASIS atau lebih dikenal sebagai penyakit demam keong masih menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia.
Penyakit itu sudah 35 tahun mengganggu masyarakat di sejumlah wilayah di daerah endemisnya, Sulawesi Tengah.
Namun, penanganannya belum tuntas hingga kini meskipun prevalensinya cenderung sedikit.
Menurut data Kementerian Kesehatan, di Sulawesi Tengah, kasus schistosomiasis dilaporkan ada di 28 desa pada lima kecamatan di Kabupaten Sigi dan Poso, yaitu di Kecamatan Lindu, Lore Barat, Lore Utara, Lore Timur, dan Lore Piore.
Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Moelek menjelaskan penyakit itu disebabkan cacing Schistosomiasis japonicum yang dapat menginfeksi manusia, keong, dan hewan mamalia.
Apabila tidak ditangani dengan cepat, dapat menyebabkan kematian.
"WHO menegur kita sebagai satu-satunya negara di Asia yang ada penyakit ini. Langka tapi memalukan," tutur Menkes dalam acara Roadmap Eradikasi Schistosomiasis 2018-2025 di Gedung Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Jakarta, kemarin.
Untuk dapat mengentaskan penyakit itu, tutur Menkes, pemerintah melakukan upaya pengendalian dengan memutus rantai penularan dari keong (sebagai perantara) ke hewan ternak pada manusia.
Oleh karena itu, roadmap eradikasi schistosomiasis 2018-2025 dibuat bersama-sama oleh lintas kementerian.
Menurut Menkes, selama ini schistosomiasis belum dapat dituntaskan karena pemerintah hanya berfokus pada pencegahan penularan ke manusia.
Hampir tidak pernah dilakukan pengobatan terhadap hewan ternak.
"Angka kejadian schistosomiasis pada manusia rata-rata 0,65%-0,97%, sedangkan pada hewan hewan ternak dan keong perantara jauh lebih tinggi, 1,22%-10,53% di ternak dan 5,56%-40% pada keong," papar Menkes.
Tingginya angka kejadian pada hewan ternak dan keong, kata Menkes, disebabkan masih ada lahan pertanian penduduk yang tidak dirawat serta tidak dilengkapi dengan saluran drainase dan jaringan irigasi sehingga serkaria (salah satu bentuk dalam fase hidup schistosomiasis) bisa terus berkembang biak.
Selain itu, buruknya kualitas air minum dan sanitasi juga menyebabkan manusia kontak dengan air yang tercemar serkaria itu.
"Eradikasi schistosomiasis harus dilakukan lintas sektor, tidak hanya sektor kesehatan, karena berkaitan erat dengan sanitasi, pertanian, dan lingkungan hidup," pungkas Nila.
Target dari program eradikasi schistosomiasis di antaranya menurunkan prevalensi hingga 0% pada 2019, mempertahankannya pada 2020-2024, hingga pada 2025 bisa mendeklarasikan Indonesia telah bebas dari schistosomiasis. (Ind/H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved