Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Kini Radio bukan cuma untuk Didengar

Rifaldi Putra Irianto dan Ardi Teristi Hardi
15/9/2024 05:00
Kini Radio bukan cuma untuk Didengar
Ilustrasi MI(MI/Duta)

“PAGI-PAGI kalau di mobil masih dengerinnya radio. Kalau kayak Spotify lagu terus, bosen juga. Kalau siaran radio lucu,” tutur Siti, ibu muda yang kerap mendengarkan radio di pagi hari saat berkendara dengan sang suami.

Radio memang sudah sejak lama menjadi ‘teman jalanan’ para pekerja di jam berangkat dan pulang kantor. Penyiar Kis 95.1 FM, Ivy Batuta, mengatakan bahwa salah satu program favorit di radionya juga ada di pagi hari, yakni Kis in The Morning, yang ia bawakan.

"Tahunya dari mana (favorit)? Dari setiap kami lempar topik banyak yang respons by Whatsapp kami. Itu gue sampai puyeng bacanya gitu. Misalnya gue lempar pertanyaan 'siapa yang masih denger radio pagi ini?', langsung tuh chat Whatsapp masuk dan udah nggak bisa kehitung lagi sih banyaknya, mungkin ratusan atau lebih bahkan," ucap Ivy saat ditemui di kantor Mahaka Radio Integra di Jakarta, Rabu (11/9). Selain Kis 95.1 FM, Mahaka menaungi sederet radio terkemuka lainnya, yaitu Gen 98.7 FM, Jak 101 FM, Hot 93.2 FM, hingga Mustang 88.0 FM.

Baca juga : Jaga Kesehatan Jiwa dan Raga, Gembira Bersama Masima Radio Network

Masih digemarinya radio menunjukkan kemampuan adaptasi radio di era disrupsi digital. Sejak lahirnya Radio Republik Indonesia (RRI) pada 11 September 1945, yang sekaligus ditetapkan menjadi Hari Radio Nasional, industri radio Tanah Air dapat dikatakan terus hidup.

Penyiar Jak FM, Maulana Hidayat atau akrab dipanggil Molan, yang hadir bersama Ivy, percaya radio tidak akan mati karena persaingan teknologi, terutama radio di Jakarta. "Menurut gue, radio mati bukan karena perkembangan teknologi, radio mati kalau jalanan Jakarta udah nggak macet," guraunya.

 

Baca juga : Masima Radio Network Bangkitkan Semangat Pasien Covid-19

Viral di medsos

Berkaca dari Jak FM, era digital memang tampak tidak menjadi kendala. Bahkan, sejak tahun lalu, Jak FM sering viral di medsos berkat konten seputar sosok anak magang bernama Sara, yang bergaya hidup jauh di atas para karyawan radio itu.

Bukan hanya membawa tas desainer dan latop mahal, Sara yang merupakan mahasiswi juga bepergian dengan sopir. Kontrasnya kehidupan Sara dan para karyawan tetap dikemas bergaya anekdot yang sekaligus menyentuh gaya hidup para gen Z dan anak muda crazy rich.

Baca juga : Buku "Panggil Aku Mas Yos," Kiprah Sang Pionir Industri Musik dan Pendiri Radio Swasta Pertama

Diwawancara pada hari yang sama, Direktur Utama Mahaka Radio Integra, Adrian Syarkawie, mengungkapkan bahwa pemanfaatan medsos memang harus dilakukan, sebab ini eranya radio bukan cuma untuk didengarkan. “Jadi sekarang tidak bisa lagi hanya memaksakan orang mendengarkan radio, tapi harus bisa melihat radio, harus bisa merasakan radio, dan bahkan bisa memegang radio itu sendiri, sehingga turunan kreatif atau strategi yang kami lakukan radio harus bisa dilihat. Gimana cara bisa dilihat? Apakah radio bisa dilihat? Nggak bisa. Lalu dilihatnya gimana? Social media (dengan live streaming atau konten kreatif),” terangnya.

Namun, bukan itu saja, bagi Adrian kunci terus eksis ialah merangkul orang untuk dekat dengan radio. Dengan itu, ia yakin radio tidak akan mengalami senja kala.

Selain konten medsos, stasiun radio di bawah Mahaka Radio Integra juga rajin membuat kegiatan offline, seperti Jak After School yang diinisiasi oleh Jak FM. Kemudian pada stasiun radio Gen FM, misalnya, mereka rutin menggelar program Gen on Track Live, sebuah program konser musik gratis yang digelar di ruang publik. Mahaka juga melihat peluang dari tren siniar (podcast).

Baca juga : Ini Peran Radio di Era Kemerdekaan Indonesia

“Podcast secara tidak langsung menggambarkan orang makin suka dengerin orang ngomong. Kami mengambil peluang, sekarang di radio itu durasi obrolan penyiar kami perbanyak, tapi kemudian tidak kami hilangkan karakter radionya. Di podcast, pendengar bisa interaksi nggak? Nggak. Bisanya di mana? Di radio,” jelas Adrian yang mengatakan jumlah pendengar dari seluruh jaringan radionya, termasuk pendengar streaming, berkisar 17 juta-18 juta pendengar.

Serupa tapi tak sama antara siniar dan radio diamini Molan. “Podcast itu kalau menurut saya cara kita mendengarkan orang berargumen, tapi tidak menemani. Sementara radio adalah cara orang mencari teman di jalan, di tempat kerja, karena bisa dua arah. Radio juga media yang bisa mainin imajinasi pendengar. Namanya ‘theater of mind’, misalnya habis dikasih cerita sedih kemudian dikasih lagu yang mendukung, itu kan mematik imajinasi seseorang,” ucap Molan.

Ivy menambahkan, radio juga merupakan media yang full of surprise. “Di radio bisa tiba-tiba habis ngomongin politik, ngomongin kesehatan, gosip artis. Gue bahkan pernah pas siaran ada pesan masuk curhatan dari mantan orang yang pernah mau melakukan bom bunuh diri, tapi akhirnya nggak jadi. Dia cerita kisahnya di radio,” tutur Ivy.

 

Identitas lokal

Beradaptasi dengan era digital juga dilakukan radio top di Daerah Istimewa Yogyakarta, Geronimo FM. Berdiri sejak 1971, Geronimo FM kini tidak hanya bisa diakses melalui radio konvensional, tapi juga berbagai platform, mulai dari Youtube, Instagram, Twitter, Facebook, Tiktok, dan berbagai aplikasi lain di Playstore. "Siaran radio tidak hanya bisa didengar, tetapi kini bisa disaksikan, ada visualnya," kata Direktur Radio Geronimo FM, Bagus Kusuma, Rabu (12/9).

Bagus mengatakan berbagai adaptasi itu dilakukan seriring gaya hidup masyarakat yang berubah drastis ke dunia digital saat pandemi covid-19. Namun, ia meyakini, perkembangan hiburan di dunia digital tidak akan sampai membunuh radio. "Seperti yang saya sampaikan di awal, radio akan terus strugling dan berevolusi sesuai perkembangan yang ada."

Dalam upaya adaptasi itu, radio FM pertama di Yogyakarta ini tetap membawa identitas kelokalan sesuai taglineThe Real Sound of Jogja’ dan slogan ‘Love Jogja and You’. Hal itu juga karena basis pendengar Geronimo ialah pencinta film dan musik, atau anak SMA.

Budaya mendengarkan radio dilihat berbeda dari Jakarta yang terjadi di saat jam macet. "Kita banyak didengarkan oleh para pelajar dan mahasiswa saat sedang di kos," terang dia.

Bagus berprinsip memelihara komunitas adalah kunci untuk kelangsungan radio. “Komunitas menjadi penting buat radio dan akan memelihara itu sesuai segmentasi masing-masing.” (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya