Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
SUARA musik memekakkan telinga dan aroma masakan menusuk hidung ialah suasana akrab di North Cemetery di Santa Cruz, Manila, Filipina. Ini bukanlah sebuah ritual budaya pemakaman di negara yang kini dipimpin Rodrigo Duterte tersebut, melainkan kehidupan yang sudah bergenerasi menjadi ‘penumpang’ di area itu. Sudah sejak era 80-an North Cemetery menjadi rumah kaum papa pinoy (sebutan warga Filipina). Dari hanya segelintir, jumlah mereka kini diperkirakan mencapai 10 ribu orang.
Area pekuburan itu tidak ubahnya kawasan padat penduduk. Tidak jarang keberadaan kuburan bahkan sudah terlihat. Di bagian kuburan dengan model tumpuk, warga menjadikannya seperti rumah panggung. Mereka membuat bedeng-bedeng di bagian atas tumpukan kuburan yang bagaikan apartemen bagi si mati itu. Mereka yang lebih sigap atau beruntung bisa mendapatkan tempat di kuburan milik orang kaya. Kuburan itu memiliki tempat yang lebih luas dan berterali. Tinggal menambah lembaran kayu, kabel panjang untuk listrik, jadilah kuburan itu disulap bagai kamar. Barang-barang elektronik dan peralatan dapur dijejalkan ke dalamnya.
Tidak sedikit dari ‘warga kuburan’ itu yang sudah beranak-pinak hingga tiga generasi. Kuburan pun diwariskan layaknya rumah keluarga. Berbagai alasan digunakan untuk mempertahankan kehidupan di kuburan itu, mulai masalah ekonomi, mencari penghidupan baru di kota, hingga tidak merasa aman karena merebaknya kriminalitas dan peredaran obat-obatan terlarang.
Kejahatan terkait dengan obat terlarang dan peredaran senjata api memang jadi momok di Filipina. Mereka yang berasal dari kalangan mampu memilih membuat benteng yang kukuh dengan jeruji besi rumah mereka, sedangkan si miskin sudah merasa bersyukur dapat bersandar di tembok dan teralis pekuburan. Maka inilah kehidupan yang justru bergantung pada yang mati. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved