Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
KONFLIK Poso, terorisme, dan deradikalisasi. Ketiganya muncul berurutan.
Konflik pecah pada 24 Desember 1998. Sentimen agama menjadi pemicunya. Konflik berakhir pada Desember 2001 dengan digelarnya Deklarasi Damai Malino I.
Konflik selesai, tapi kebencian antarkelompok masih ada. Kelompok inilah yang kemudian memunculkan aksi terorisme.
Nama Santoso alias Abu Wardah muncul pada 2010. Ia mengangkat senjata dan mulai bergerilya di hutan-hutan pegunungan Poso, Sigi, dan Parigi Moutong. Mereka kemudian muncul dengan nama kelompok sipil bersenjata Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Teror, pembunuhan, dan perampokan dilakukan kelompok ini. Operasi berjilid-jilid pun digelar TNI dan Polri. Operasi pertama bernama Aman Maleo, dimulai pada 2012. Aman Maleo berlangsung 5 jilid, bersambung dengan 4 jilid Operasi Camar Maleo dan berlanjut dengan Operasi Tinombala yang berlaku sejak 2016 hingga saat ini.
Rentetan operasi membuat sejumlah teroris mati diterjang peluru panas. Tak sedikit juga yang ditangkap atau menyerah.
Deradikalisasi digelar untuk para teroris yang berada di balik terali penjara itu. Sampai 2015, operasi di Poso menangkap 47 anggota MIT. Di 2019, 35 narapidana terorisme menjalani hukuman. Program deradikalisasi dilakukan untuk mereka.
Sejahtera
November 2020 lalu, saat datang ke Sulawesi Tengah, Kepala BNPT Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar menyatakan bahwa saat ini dan ke depan fokus program penanggulangan berbasis pada pembangunan kesejahteraan masyarakat. "Kami melibatkan Tim Satgas Sinergitas Nasional dan Daerah."
Tidak main-main. Tim ini beranggotakan 38 lembaga, kementerian, badan, forum, dan masyarakat. Fokus mereka program berbasis pembangunan kesejahteraan masyarakat. Yang digarap bagi para mantan narapidana terorisme itu antara lain sektor perkebunan, pertanian, serta industri kecil dan menengah.
"Pendekatan itu diharapkan bisa memutus mata rantai agar warga di satu wilayah atau di satu kawasan tidak mengikuti gerakan intoleransi, radikalisme, dan terorisme," lanjut Boy Rafli.
Deradikalisasi bukan semudah membalikkan telapak tangan. Boy Rafli Amar mengakui tantangan program ini semakin berat karena beberapa faktor. Di antaranya pengaruh globalisasi, masifnya penggunaan teknologi informasi, perkembangan radikalisme, terorisme, hingga adaptasi jaringan terorisme khususnya di Indonesia.
Beberapa provinsi di Indonesia, menurutnya, memiliki catatan aktivitas jaringan terorisme yang cukup panjang. Salah satunya di Poso. Sampai saat ini di Poso masih ada bekas narapidana kasus terorisme yang masih terlibat dalam beberapa aksi terorisme lagi.
"Karena itu, BNPT terus mengeluarkan program deradikalisasi untuk para mantan napi terorisme. Salah satu upaya pembinaan itu dengan kegiatan kewirausahaan," kata Boy.
Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Rusli Baco Dg Palabbi mengakui banyak dari mantan narapidana terorisme yang sudah kembali ke masyarakat, hidup baik dan berkecukupan. "Ada yang sudah jadi pengusaha. Usaha mereka pun bervariasi. Ada juga yang sudah menjadi pegawai di kantor pemerintahan dan lembaga."
Ia menyatakan hampir semua eks kombatan atau eks napi terorisme di Poso diikutkan dalam program deradikalisasi. Semua program berjalan baik.
Eks kombatan yang memiliki kemampuan lebih juga diberdayakan dengan mendapat proyek. "Tidak salah. Mereka bisa bekerja, menghasilkan uang halal untuk keluarga sehingga tidak berpikir untuk kembali ke masa kelam."
Kewajiban negara
Akademisi IAIN Palu yang juga pengamat terorisme, Muhammad Lukman S Tahir, punya pengalaman panjang mendampingi para napi terorisme. Ia melihat mereka sebagai salah satu komponen masyarakat yang memiliki kehidupan sosial, harus dilindungi, dihargai, dan dijunjung harkat serta martabatnya.
Layaknya warga negara, bekas narapidana terorisme juga berhak mendapatkan dan merasakan dampak dari kebijakan pemerintah pada sektor pembangunan ekonomi. Mereka harus merasakannya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, pendidikan, dan kesehatan.
Apalagi, jika mereka telah mengaku salah dan berkomitmen kembali ke jalan yang benar, juga bersedia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menjunjung tinggi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, maka negara berkewajiban untuk menganyomi mereka.
Menurut Lukman, membangun kepercayaan diri menjadi penting bagi bekas napi terorisme. "Hal itu karena kebanyakan orang hanya terjebak pada label. Padahal, label yang diberikan kepada seseorang belum tentu seperti itu adanya," katanya.
Ia menambahkan, selama ini persoalan yang dihadapi mereka sangat beragam, terutama untuk kembali bermasyarakat setelah keluar dari penjara. "Jika tidak ada yang mendampingi, dikhawatirkan mereka bisa kembali terjerat radikalisme."
Selama ini mereka juga menjadi objek semata, baik penelitian mapun program. Sejumlah program digagas dengan tidak matang.
"Seharusnya program yang dijalankan diubah. Cara pandangnya, mereka merupakan subjek, bukan objek," tandasnya. (Ant/N-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved