Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
MUJAHIDIN Indonesia Timur (MIT) masih membayangi ketenangan kehidupan masyarakat Poso. Anggota mereka memang terus menyusut. Namun, rekrutan
baru tetap berjalan lewat akar rumput kelompok pengajian serta pesantren ilegal.
Tokoh agama Islam Poso, Ibrahim Ismail, mengungkapkan MIT bisa dihilangkan jika akarnya diselesaikan. “Akar MIT itu ada di bawah, bukan di hutan dan pegunungan. Akarnya adalah simpatisan-simpatisan yang masih terus melakukan perekrutan melalui jalur pengajian, majelis taklim, dan pesantren ilegal,” bebernya kepada Media Indonesia, Rabu (23/12).
Ibrahim mengungkapkan banyak pengajian ataupun kelompok majelis taklim, yang tidak jelas maksud dan tujuan mereka berkumpul, berlangsung aman di Poso. Bahkan, ada pesantren yang berdiri ilegal dibiarkan oleh negara.
“Di Poso ini, semua itu masih ditemukan. Ini kan bibit-bibit baru yang menjadi ancaman. Majelis taklim atau pesantren ilegal itu bisa saja melahirkan bibit-bibit baru yang akan bergabung bersama MIT,” paparnya.
Sepanjang bibit-bibit ini dibiarkan tumbuh, MIT akan tetap eksis. “Kami yakin kalau akarnya dihilangkan, pasti MIT bisa dengan mudah dituntaskan. Tapi kalau akarnya masih dibiarkan tumbuh, sampai kapan pun MIT akan terus subur,” terangnya.
Oleh karena itu, Ibrahim meminta pemerintah, satgas, dan semua pihak bergerak bersama menuntaskan akarakarnya dan tidak hanya fokus pada perburuan di hutan dan pegunungan Poso.
Ibrahim dengan tegas mengatakan tidak ada warga Poso yang beragama Islam mendukung gerakan MIT.
Menurutnya, NU dan Muhammadiyah serta kelompok agama Islam lainnya menentang aksi teror komplotan MIT.
“Jangan mengira saat anggota MIT tewas dan penguburannya dihadiri banyak warga muslim dibilang mendukung. Tidak begitu! Wajar saja warga mus lim datang menghadiri prosesi pe ma kaman warga muslim lainnya. Apalagi orang itu adalah kerabat,” tuturnya.
Jihad keliru
Apa yang diungkapkan Ibrahim dibenarkan oleh mantan kombatan konflik Poso, Sukarno Ahmad Ino. “Banyak lahir orang radikal di Poso lewat jalur kelompok pengajian, majelis taklim, dan pesantren ilegal. Mereka disisipi pemahaman radikal,” cetusnya.
Dia sepakat ideologi MIT keliru. Semangatnya bukan berjihad untuk membela agama, melainkan memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu dengan menghalalkan segala cara.
“Saya bilangnya ini keliru. Tidak bisa dikatakan salah karena mereka yang ikut menilai bahwa aksi mereka berjihad untuk agama,” ujarnya.
Ino mengungkapkan pengikut yang bergabung dengan MIT khususnya Santoso, sang pendiri, dan Mukhtar hingga Basri, adalah orang-orang yang merasa
terabaikan pascapenandatanganan Deklarasi Perjanjian Damai Malino 2001.
“Santoso, misalnya, ada hak yang harus ditunaikan negara untuk dia, tapi tidak dilakukan. Mukhtar dan Basri pun demikian. Proses hukum terhadap pelaku
pembunuhan keluarga mereka saat konfl ik tidak diproses negara. Pengabaian mereka membuat sakit hati. Itulah sebabnya saya sampaikan mereka tidak
salah, tetapi keliru,” jelasnya.
Dalam konteks berjihad, Ino berpandangan merupakan amalan, apakah itu baik atau buruk. Adapun jihad yang diterapkan MIT amalan buruk. “Kita harus paham apa tujuan radikal itu. Kalau tujuannya baik, tidak masalah. Tapi kalau sebaliknya, itu berbahaya.”
Ino berharap penyelesaian kelompok teror dilakukan dengan jalan benar. Satgas Operasi Tinombala yang kini memburu pelaku harus berupaya agar tidak langsung membunuh. Sebaiknya mereka ditangkap kemudian diperiksa untuk dicari tahu akar masalahnya supaya benar-benar tuntas.
“Terpenting, negara harus tetap mem berikan hak untuk pengikut atau anggota MIT sebagai warga negara,” pintanya. (TB/N-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved