Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Jalan Panjang Perburuan Penebar Teror di Poso

M TAUFAN SP BUSTAN
30/12/2020 00:00
Jalan Panjang Perburuan Penebar Teror di Poso
Sejumlah pengendara mobil melintas di depan baliho yang menampilkan Daftar Pencarian orang (DPO) anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT)(ANTARA FOTO/Basri Marzuki/foc.)

SEBENARNYA konflik telah usai pascapenandatanganan Deklarasi Perjanjian Damai Malino pada 2001. Tokoh agama Islam dan Nasrani sepakat berdamai dengan dijembatani oleh negara.

Semua orang bergembira dan menaruh harapan Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, akan kembali aman. Memang, secara umum, kondisi berangsur-
angsur normal. Masyarakat berbaur seperti sediakala.

Ya, Poso terasa damai. Tokoh Nasrani Poso, Pendeta Yulian Jana Gantimo, mengaku saat ini Poso jauh lebih aman dan masyarakat hidup rukun

Tidak ada lagi konfl ik agama di Poso pascapenandatanganan Perjanjian Damai Malino. “Sekarang umat Nasrani dan Islam bebas ke mana saja. Tidak ada lagi benturan antarkelompok,” papar Yulian di Poso, Rabu (23/12).

Ketakutan yang mendera kedua belah pihak akibat provokasi bernuansa agama beberapa tahun silam telah sirna. Ketika konfl ik Poso meletus, pergerakan
masyarakat sangat terbatas.

Kelompok Nasrani mendirikan basis di Tentena dan kelompok Islam di Poso. Banyak korban berjatuhan akibat melanggar zona basis. Tak terhitung pula
kerugian materi saat konfl ik berujung pembunuhan dan pembakaran.

Kini, asap kelabu itu telah menjauh tertiup angin kesadaran. Warga Tentena dan Poso sadar mereka sama-sama menjadi korban kepentingan kelompok
angkara murka yang membawa-bawa nama agama. Kedua belah pihak terpuruk bahkan selalu dihantui ketakutan adanya penyerang an tiba-tiba.

“Kini warga tak lagi mau diprovo kasi. Seperti kejadian di Desa Lemban - tongoa, warga Nasrani tak mau terpancing. Faktanya, warga berbeda agama
bisa hidup rukun bersama,” ungkapnya.

Peristiwa di Lembantongoa, Sigi, mengusik kedamaian yang sudah membumi. Empat orang dibunuh dan enam rumah dibakar oleh kelompok radikal bersenjata pimpinan Ali Kalora yang membawa bendera Mujahidin Indonesia Timur (MIT).

MIT yang berakar dari jihadis Poso bernama Santoso alias Abu Wardah ingin kembali menebar ketakutan di Bumi Sintuwu Maroso. Mereka mendeklarasikan diri berafi liasi dengan Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS).

Menurut mantan anggota Jamaah Islamiyah Poso, Arifudin Lako, MIT lahir pada 2010 dengan semangat membentuk negara Islam. “Pembentukan negara Islam menguat di kalangan kelompok jihad Indonesia sejak 2001. Itu ideologi yang keliru,” cetusnya.

Mantan jihadis


Cikal bakal lahirnya MIT di Poso sa ngat kuat dipengaruhi Jamaah Ansha rut Tauhid (JAT) yang didirikan Abu Bakar Ba’asyir bersama Aman Abdurahman, pemimpin Jamaah Islamiyah.

Saat JAT lahir, salah satu anggotanya ialah Santoso. Saat itu, Santoso ditunjuk menjadi ketua sayap militer JAT cabang Poso.

“Santoso diminta menja dikan Poso sebagai pusat pelatihan jihad atau qoidah aminah negara Islam,” tutur Arifudin di Poso, Rabu (23/12).

Perintah kepada Santoso karena pusat pelatihan jihad binaan Dulmatin baru saja digerebek polisi di Aceh. Dulmatin, yang saat itu masuk daftar buron teroris nomor 1 Asia Tenggara, lolos dari penyergapan.

Sepak terjang tersangka Bom Bali I itu dapat dihentikan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri pada 9 Ma ret 2010 di Pamulang, Tangerang, Banten.

Santoso merealisasikan perintah pe mimpin JAT itu dengan merekrut para mantan jihadis Poso. Termasuk Mukhtar (tewas 2016) dan Basri alias Bagong (ditangkap pada 2016).

Pada 2010, Santoso mengumpulkan peralatan perang berupa senjata api rakitan, senjata api organik, amunisi, bom rakitan, dan peralatan pendukung
perang lainnya.

Mereka memusatkan pelatihan militer di Gunung Mauro, Desa Tambarana dan di Gunung Biru, Dusun Tamanjeka, Desa Masani, Kecamatan Poso Pesisir
Utara. “Waktu itu saya masih di dalam penjara dan menerima semua informasi dari Poso. Di dalam penjara, teman-teman jihadis b e r c e r i t a banyak tentang proyek Santoso itu,” ungkapnya.

Pada 18 J u li 2016, Satgas Operasi Ti nombala berhasil menembak mati Santoso dan Mukhtar. Tidak lama kemudian, tepatnya 14 September 2016, Basri,
ta ngan kanan Santoso, ditangkap bersama istri nya.

Di saat penangkapan Basri, satu anggota MIT bernama Andika Eka Putra juga tewas ditembak. Berselang beberapa hari kemudian, dua anggota MIT lainnya, Sobron dan Yono Sayur, tewas dalam baku tembak dengan satgas.

MIT mulai melemah. Kelompok yang tadinya memiliki jumlah anggota cukup banyak juga bersilang pendapat dan terpecah menjadi dua. Beberapa anggota bahkan memilih turun gunung dan menyerahkan diri.

Namun, yang tersisa tetap menebar teror. Kelompok yang kini dipimpin Ali Ahmad alias Ali Kalora mencoba mengadu domba kembali masyarakat dengan menjadikan warga sipil sebagai korban. Beberapa anggota yang radikal dan jihadis diduga kembali bergabung dengan Ali Ka lora sehingga jumlah
mereka kini mencapai belasan orang.

Sebelum MIT bertindak lebih brutal dengan memangsa korban tak berdosa sebagai umpan adu domba, pemerintah tengah menyiapkan operasi besar-besar an untuk memburu mereka.

Baru-baru ini Satgas Tinombala ber hasil menembak mati dua dari 11 pengikut Ali Kalora di Parigi Moutong. Meski demikian, masyarakat akan te tap dihantui kegusaran sepanjang biang teror bernama MIT masih berkeliaran. (N-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya