Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Mereka yang Peduli pada Arsip Film

Fathurrozak
16/12/2020 05:25
Mereka yang Peduli pada Arsip Film
(Dok.MI/Seno)

Hingga detik ini, kerja-kerja pengarsipan film dilakukan oleh lembaga-lembaga independen nonpemerintah. Padahal sebenarnya di UU Nomor 33 Tahun 2009 bagian kedelapan, Pasal 38, disebutkan bahwa pengarsipan film juga mengamanatkan peran pemerintah membentuk badan pengarsipan. Namun, hingga sejauh ini hal itu baru diterjemahkan ke peraturan menteri.

Di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, UU yang lahir pada 2009 itu baru diterjemahkan ke peraturan menteri sedekade setelahnya lewat Permendikbud 41 Tahun 2019 tentang Pengarsipan Film. Kepala Pokja Media Baru dari Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru Kemendikbud Tubagus Andre Sukmana menyebutkan, saat ini tengah dalam proses penyusunan peta jalan yang nantinya disebut Kegiatan Pusat Pengarsipan Film Indonesia (PFI).

Struktur itu yang nantinya dimunculkan sebagai pengelola arsip yang ada di bawah direktoratnya. Namun, dalam rencananya itu Andre menyebut bakal ada kurator yang disertakan dalam kegiatan pengarsipan.

"Kegiatan Pusat PFI tentunya nanti ada pengumpulan, proses kurasi, kuratorial, bagaimana mekanisme dalam pengarsipan itu. Selain ada amanat, misalnya untuk serahkan kopi film, kami juga bisa proaktif meminta kepada pelaku kegiatan perfilman. Atau melakukan kerja sama, apa yang bisa dilakukan pengarsipan, bisa dengan pihak asing dan lembaga organisasi yang sama-sama menyimpan arsip," kata Andre dalam diskusi virtual bertajuk Siapa saja Aktornya dan Bagaimana Strategi Pemeliharaan Arsip Sinematografi?, beberapa waktu lalu.

Selama ini, pengarsipan yang dilakukan di Kemendikbud masih sebatas pada film-film yang mendapat fasilitasi dari kementerian tersebut, baik fiksi maupun dokumenter, termasuk beberapa film hasil restorasi. Pada peta jalan yang tengah disusun itu, tahun ini dan tahun depan Kegiatan Pusat PFI memfokuskan pencarian arsip ke beberapa daerah di Indonesia, dengan menyambangi badan arsip setempat ataupun perseorangan.

Kerja kompleks

Dalam melakukan kerja pengarsipan, arsiparis bertanggung jawab bukan saja menyimpan, tetapi juga mengupayakan agar arsip tersebut awet dan bisa dipakai sebanyak mungkin orang. Selain itu, setelah pengakuisisian, barang yang diarsip harus didata dan disusun secara sistematis. Itu karena kelak arsip-arsip tersebut bukan hanya milik arsiparis, melainkan juga siapa pun yang membutuhkan akses pada arsip tersebut.

"Selain mendeskripsikan dan menyusun informasi, juga harus memanajemen hak-hak yang bertikai di dalam satu item arsip. Misalnya film ada yang bikin, lalu ada juga yang punya, yang bikin belum tentu yang punya. Ada sutradara dan produser, dua-duanya punya hak, enggak bisa kasih sembarangan. Untuk diperlihatkan ke orang lain pun harus minta izin," kata Lisabona Rahman dalam diskusi publik bertajuk Lanskap: Indonesia dalam Dokumen, Pemanfaatan Arsip Film Dokumenter, Kamis (10/12).

Menurut lulusan program magister di bidang film/cinema/video studies di Universiteit van Amsterdam, Belanda, itu, seorang arsiparis harus pintar-pintar menjaga keseimbangan di antara hak-hak yang saling bertikai tersebut. Selain hak yang harus didapat dari si pemilik karya, arsiparis juga harus mempertimbangan hak publik atas informasi, misalnya. "Ini kerjaan yang sibuk dan rumit," kata perempuan yang pernah terlibat dalam restorasi film Lewat Djam Malam ini.

Lisa juga membeberkan tantangan dalam kerja pengarsipan audiovisual. Setiap medium, menurutnya, memiliki tantangan berbeda. Misalnya medium analog yang diproduksi dengan seluloid, atau tape, kaset video. Lawannya adalah cuaca dan waktu. Benda-benda tersebut harus disimpan dalam kondisi khusus karena mudah terpengaruh cuaca. Medium digital juga memiliki tantangan, yakni keterbacaan isi dan perkembangan teknologi yang cepat.

Ketua Sinematek Akhlis Suryapati mengamini hal tersebut. Sebagai lembaga independen pengarsip perfilman, Akhlis dan para koleganya berkutat dengan tantangan-tantangan itu.

"Setiap hari film-film kita rawat, tentu dengan macam-macam kimia. Ada juga untuk tetap menjaga sinkronisasi suara dengan gambar supaya tidak geser. Setidaknya setiap hari ada tiga-lima judul film. Kalau bergiliran, rerata satu film kebagian enam bulan sekali diperiksa. Kami juga melakukan alih media," kata Akhlis. Ia juga mengeluhkan bahwa saat ini pihaknya belum mampu mengakomodasi penyimpanan arsip film digital dalam format LTO (linear tape-open), yang disebutnya sebagai yang paling mutakhir.

Menurut dia, kalau mau melihat praktik ideal, harus ada satu kesepakatan mengenai apa-apa yang baik, prinsip-prinsip yang baik, atau falsafah baik, yang bisa diterapkan dalam kerja kearsipan. Misalnya kepentingan, arsip dibuat untuk kepentingan beragam, tidak cuma satu kepentingan. Yang kedua, harus keberlanjutan. "Bukan yang dilakukan untuk jangka pendek, dan idealnya arsip itu juga harus terbuka, artinya bukan cuma bisa diakses publik, tetapi kebijakannya juga bisa dikritik atau dikasih masukan oleh pihak di luar kearsipan," ujarnya.

Setidaknya ada dua perspektif yang menurut Lisa bisa menjadi landasan untuk melihat pentingnya arsip. Dari kacamata pembuat, arsip bisa dimanfaatkan sebagai salah satu tempat menyimpan aset termasuk kekayaan intelektual (IP). Ketika kekayaan intelektual tersebut tersimpan dengan baik, ada kemungkinan masih bisa digunakan pada dekade-dekade selanjutnya.

Sebaliknya dari perspektif publik atau pengguna, arsip film bisa memberikan cara untuk memahami sejarah, yakni melalui penyediaan bukti-bukti atau referensi acuan untuk mengartikan sejarah. Termasuk untuk kebutuhan kajian studi, arsip bisa menjadi acuan yang berharga. Lisa menyebutnya seperti brankas yang menyimpan banyak kemungkinan.

"Arsip itu seperti kapsul waktu yang menyimpan ingatan, dari saat membuatnya untuk kemudian dikomunikasikan pada masa yang lain, masa depan."

Saat ini, tantangan lain yang dihadapi dalam kearsipan ialah bagaimana para penyedia arsip mampu menyajikan arsip-arsip tersebut lebih ramah pengguna, atau ramah publik. Misalnya lembaga-lembaga negara seperti ANRI yang masih menyulitkan para pengguna arsip. "Walau kelihatan lucu, persoalan teknis yang kita hadapi pada saat memanfaatkan arsip audiovisual menunjukkan logika tidak ada niat user friendly dari lembaga-lembaga arsip kita sayangnya."

Karena itu, menurut Lisa, tawaran lainnya bisa datang dari jalan alternatif dari skala yang lebih kecil. Dari para penyedia arsip yang skalanya lebih kecil, dan membuatnya lebih ramah pengguna, di samping untuk tetap terus berinteraksi dengan pemilik dokumen atau arsip tersebut agar mau memberikan atau membuka akses yang dipunya atau dititipkan. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya