Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Gagap Menata Fintech Berbasis Peminjaman

Fetry Wuryasti
27/3/2017 10:53
Gagap Menata Fintech Berbasis Peminjaman
(MI)

KEBERADAAN fintech di industri keuangan Indonesia berkembang pesat dalam dua tahun terakhir. Namun, hingga kini regulasi yang mengatur keberadaan mereka masih minim. Proses perizinannya pun dirasakan tidak gampang. Otoritas terlihat gagap mengimbangi kecepatan dari fintech.

Hingga saat ini, OJK baru mengeluarkan tanda terdaftar bagi satu perusahaan fintech, sedangkan 23 lainnya hanya menerima tanda terima proses pendaftaran.

Sebgaimana diketahui, aturan mengenai fintech dikeluarkan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). BI mengeluarkan (PBI) Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan OJK mengeluarkan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam-meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Asosiasi Perusahaan Fintech meminta OJK sebagai otoritas fintech berbasis peer-to-peer lending dan crowdfunding lebih menunjukkan komitmen. Itu disebabkan banyak perusahaan fintech yang menemui kesulitan dalam mendapatkan informasi yang jelas seputar teknis pendaftaran layanan pinjam meminjam di OJK. Situasi tersebut dinilai menyulitkan para pelaku usaha dan berimbas pada kinerja perusahaan, terutama bila ingin mengembangkan bisnis ke luar daerah.

Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Nonbank (IKNB) OJK Edy Setiadi meng­ungkapkan pihaknya harus hati-hati dalam hal perizinan. “Itu disebabkan OJK tidak ahli dalam bidang aplikasi yang baik dan aman harus seperti apa. Maka ada ukuran strategi. Dari awal sudah dibedakan untuk fintech sistem pembayaran perizinan ke BI, sedangkan untuk peer to peer lending sertifikasinya ke OJK,” ujarnya seusai rapat dengan asosiasi fintech di Jakarta, pekan lalu.

Karena itu, OJK menggandeng asosiasi fintech sebagai expertise untuk menyeleksi, menyosialisasikan, dan membuat mitigasi risiko bagi fintech lending agar memenuhi syarat guna memperoleh perizinan dari OJK.

“Kami tidak ingin fintech menjadi shadow banking. Oleh karena itu, dengan regulasi POJK ini kami ingin tahu persis seperti apa model usaha yang kita bisa izinkan supaya sustainable ke depannya. Langkah memang harus agak hati-hati di awal. Nanti asosiasi juga harus punya pelaksana di pasar,” tandasnya.

Wakil Ketua Asosiasi Fintech Adrian A Gunadi mengatakan sampai saat ini jumlah perusahaan yang tergabung dalam asosiasi ada 70 perusahaan fintech start-up, dengan 50 per­usahaan tersebut terdiri dari perusahaan fintech yang ber­gerak di bidang payment dan 20 perusahan di bidang lending. Asosiasi akan berfungsi sebagai filter untuk menyeleksi perusahaan fintech yang akan mendaftar ke OJK. Mereka juga sebagai jembatan antara regulasi dan pihak luar seperti perbankan serta lembaga penjaminan.

Asosiasi berharap usaha rintisan layanan keuangan berbasis teknologi ini mampu mengatasi keterbatasan akses kredit perbankan kepada masyarakat, yang nilainya ditaksir mencapai Rp1.000 triliun.

“Peta demografi Indonesia menunjukkan masih ada keterbatasan Rp1.000 triliun belum terlayani oleh akses kredit. Kami harapkan ‘fintech’ layanan pinjam-meminjam bisa penuhi 30% pasar itu,” ujar Adian.

Sejauh ini, fintech juga telah bekerja sama dengan industri seperti kolaborasi PT Investree Radhika Jaya dengan Bank Woori Saudara dan Bank Danamon. (Ant/E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya