Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Redam Gejala Deindustrialisasi

Irene Harty
20/12/2015 00:00
Redam Gejala Deindustrialisasi
Suryani SF Motik, Wakil Ketua Umum Kadin(MI/Ramdani)

Penggantian menteri banyak membuat kegaduhan yang menimbulkan sinyal buruk kinerja pemerintah ke pasar dan publik.

GEJALA deindustrialisasi atau penurunan kontribusi sektor manufaktur pada pertumbuhan ekonomi semakin terlihat jelas. Kinerja penyerapan anggaran pemerintah yang lebih baik diharapkan menjadi pendorong perekonomian.

"Peralihan itu terlalu dini terjadi. Arahnya mau industri, tetapi terlalu cepat deindustrialisasi dengan tenaga kerja di bawah SMA, itu bahaya sekali karena serapan enggak ada," ungkap Wakil Ketua Umum Kadin Suryani SF Motik dalam diskusi bertajuk Menjaga Ingatan: Ekonomi dan Politik 2015 di Jakarta, kemarin.

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melaporkan pertumbuhan industri nonmigas tercatat 5,2% pada kuartal III-2015. Capaian ini lebih rendah dibandingkan 5,6% pada periode yang sama tahun lalu. Kendati demikian, Kemenperin yakin hingga akhir tahun, pertumbuhan industri nonmigas dapat mencapai kisaran 5,5%.

Menurut Suryani, kebijakan ekonomi yang belum matang mendorong keluarnya paket-paket kebijakan yang dampaknya bisa untuk jangka panjang. Padahal, untuk jangka pendek, dunia usaha menginginkan adanya pertumbuhan daya beli masyarakat yang lebih baik.

Ada dua syarat yang mesti mendukung daya beli masyarakat. Pertama, penyerapan anggaran pemerintah harus lebih baik lagi dari tahun ini dan juga masuknya investasi.

"Serapan anggaran yang masih minim akibat lambatnya pencairan. Sementara pada 2016 juga masih ada persoalan deregulasi. Padahal, investasi harus masuk, baik dari luar Jakarta maupun luar negeri, 40 ribu peraturan itu mesti dipangkas," ungkapnya.

Apalagi, dunia usaha saat ini banyak terhambat terutama di daerah karena masih bergantung pada anggaran pemerintah daerah. Kebijakan yang berubah-ubah dari pemerintah juga dipandang sebagai penyebab kinerja sektor manufaktur menurun.

"Konsistensi kebijakan di dunia usaha itu penting sekali, jangan tumpang tindih atau buat kebijakan aneh-aneh," sahut Yani. Seperti kebijakan kepastian upah buruh yang memiliki porsi 40%-50% dari biaya operasional sudah lumayan pasti.

Tiga masalah

Ekonom Indef sekaligus pengajar FEB Universitas Indonesia Berly Martawardaya mengatakan ada tiga masalah besar yang datang dari asap, beras, dan kegaduhan ekonomi. Berdasarkan data World Bank, bencana asap merugikan ekonomi Indonesia Rp200 triliun atau 10% dari PDB.

"Banyak sektor yang tidak bergerak akibat pekerja yang tidak bisa beraktivitas dalam kabut asap sampai berdampak ke umur pendek anak-anak usia dini," katanya.

Hasil studi Indef mengatakan ada juga pengaturan yang belum pas dalam kebijakan distribusi beras. Akibatnya, penduduk miskin ditengarai bertambah 852 ribu periode September-Oktober dan terbanyak dari desa-desa, yakni 300 ribu sampai 500 ribu penduduk.

"Itu karena beras komponen terbesar, yakni hampir 30% dari pembelian masyarakat miskin," sahut Berly. Masalah terakhir ialah koordinasi kabinet. Penggantian menteri banyak membuat kegaduhan yang menimbulkan sinyal buruk kinerja pemerintah ke pasar dan publik.

Ketua Populi Center, Nico Harjanto, mengatakan ekonomi memang masih dipengaruhi oleh politik. "Masalah mendasar politik belum bisa nunjang ekonomi yang efisien."Pemerintah perlu menyederhanakan perizinan di daerah yang memiliki otoritas berbeda-beda. Dia juga berharap pemilihan kepala daerah serentak dapat membangun koordinasi antardaerah. (E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya