MASIH kuat rasa kekhawatiran sebagian kalangan terhadap dibukanya gerbang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) seluas-luasnya pada akhir tahun ini. Namun, pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan sudah bukan saatnya lagi menaruh kekhawatiran, melainkan bagaimana menyikapi era globalisasi dengan memperkuat daya saing.
"Memang perlu ditelaah juga, apa saja komponen daya saing yang harus dipacu. Bisa dimulai dari penurunan tarif listrik atau upah buruh yang bisa diprediksi. Itu sangat berpengaruh terhadap cost competitiveness," kata Ketua Industri Manufaktur Apindo Johnny Darmawan saat ditemui di Menara Permata Kuningan, baru-baru ini.
Ia mengamini daya saing industri dalam negeri masih terbilang lemah ketimbang negara-negara tetangga. Hal itu tidak terlepas dari orientasi industri di masa lalu yang sekitar 60% berkutat pada komoditas. Sementara itu, tiga tahun terakhir harga komoditas terus bergerak melemah. "Arah (pemerintah) untuk mengubah orientasi itu kita lihat sudah ada. Perlahan investasi yang datang lebih didorong untuk mengembangkan industri manufaktur yang memiliki value added," sambung Johnny.
Ia menilai paling tidak ada dua sektor industri manufaktur yang dinilainya siap bersaing di kancah global, yaitu sektor otomotif dan 'wood based'.
Dalam kesempatan sama, Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menambahkan Indonesia harus menangkap peluang dari MEA dengan menjadikan diri sebagai basis produksi di ASEAN. Potensi pasar yang dimiliki Indonesia dengan 250 juta penduduk sudah sepatutnya tidak cuma bermanfaat untuk negara lain, seperti Thailand atau Vietnam.
"Kalau kita tidak bisa waspada dengan memperkuat daya saing, bisa-bisa industri domestik terlibas. Tapi jangan berkecil hati, peluang kita untuk menjadi pemain di ASEAN masih terbuka luas," ucapnya optimistis. Keliru besar Pemerintah, sambung Hariyadi, perlu memprioritaskan kajian terhadap sejumlah skema perdagangan bebas lainnya. Dalam waktu dekat, Indonesia digadang-gadang akan mendeklarasikan keikutsertaan dalam Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Begitu juga pakta perdagangan bebas dengan Uni Eropa tengah dalam tahap pengkajian.
Niatan pemerintah yang diutarakan langsung Presiden Joko Widodo kepada Presiden Amerika Serikat Barack Obama untuk bergabung dalam perjanjian Trans-Pacific Partnership (TPP) memang harus dicermati dengan hati-hati. Apalagi Indonesia tidak ikut merumuskan platform perjanjian TPP. "Asalkan negosiasi yang diciptakan menguntungkan dan berdampak positif bagi Indonesia, kami dukung," kata dia.
Dalam kesempatan terpisah, Presiden Joko Widodo kembali menegaskan Indonesia harus memperhitungkan untung ruginya mengikuti blok-blok dagang. Khusus menghadapi MEA, kesiapan harus jadi hal mutlak. Di depan para pemimpin TNI di Mabes TNI Cilangkap Jakarta, kemarin, ia menyebut sejumlah kepala negara dan kepala pemerintahan di ASEAN yang justru khawatir terhadap Indonesia. "Mereka berbisik-bisik ke saya, 'Kita khawatir produk Indonesia membanjiri negara kita'. Terlebih, pasar tenaga kerja akan direbut Indonesia yang dikenal terampil dan tekun," ungkapnya.
Maka itu, Indonesia tidak perlu ikut-ikutan cemas menghadapi MEA. "Orang lain khawatir, kok kita ikut takut. Ini keliru besar."
Lebih lanjut, Jokowi meminta TNI turut mengawasi dan menangkal masuknya barang-barang ilegal dari luar negeri ke Indonesia. Ia menilai produk yang masuk secara legal saja bisa mengancam produksi lokal, apalagi yang masuk secara ilegal. (Pol/E-2)