Gurihnya Hasil Pemberdayaan UMKM di Aceh

M Ilham Ramadhan Avisena
07/2/2025 20:36
Gurihnya Hasil Pemberdayaan UMKM di Aceh
Penenun di Rumah Tenun Mutiara Songket, Gampong Krueng Kalee, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar.(MI/M Ilham Ramadhan Avisena)

MURTALA Hendra Syahputra dan Yuliana memutuskan untuk berdiri di kaki sendiri, memulai usaha bersama untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Berbagai jenis usaha dilakukan, jatuh bangun dirasakan, hingga akhirnya pasangan suami istri itu berhasil memproduksi Sambal Hijau Capli.

“Ini awal modal kita hanya Rp500 ribu pada 2018 hanya dengan blender rumah tangga. Sekarang kita mampu melibatkan sampai 100 orang dalam produksinya, kita bangun daerah sini menjadi seperti wilayah rantai industri,” ujar Yuliana kepada pewarta saat ditemui di tempat produksinya, Banda Aceh, Kamis (6/2).

Sambal Hijau Capli terbuat dari 60% cabe rawit hijau asli Dataran Tinggi Gayo yang dicampur dengan asam sunti atau buah belimbing wulu fermentasi. 

Asam sunti berfungsi sebagai pengental, pengasam, dan pengawet dikombinasikan dengan cabai rawit hijau tanah gayo hingga menghasilkan rasa pedas yang khas dan unik, tanpa perasa, pemanis dan non-msg. Sambal Capli bisa bertahan hingga 1 tahun dan sudah bersertifikat BPOM, halal, dan MPU Aceh.

Yuliana mengatakan, ide untuk membuat Sambal Hijau Capli dilandasi pada saat Yuliana dan Murtala melakukan survei inflasi bahan pokok. Saat itu, keduanya sama-sama bekerja di sebuah lembaga survei. 

Dari hasil survei tersebut, Yuliana dan Murtala mendapati cabai hasil panen tanah Gayo selalu mengalami kejatuhan harga karena cabai tersebut umum dikenal sebagai komoditas yang cepat rusak. "Akhirnya kita coba olah sama suami hingga akhirnya pada 2018 kita mendapatkan formulanya," kata Yuliana. 

Dengan memanfaatkan asam sunti, metode pengawet alami asal Aceh, mereka akhirnya bisa memproduksi sambal dengan daya tahan lama. Pasangan suami istri itu pun mampu menyerap cabai petani dengan harga yang tidak lagi jatuh, dan sesuai nilai pasaran.

Usaha yang digarap oleh Yuliana dan Murtala juga meningkatkan pemberdayaan masyarakat sekitar, terutama kaum perempuan. “Kita juga memberdayakan ibu-ibu rumah tangga untuk menyortir cabai, tujuannya supaya mereka ada penghasilan. Karena memang banyak sekali janda yang bukan korban konflik, dan juga (terdampak) tsunami,” jelas Yuliana. 

Sambah Hijau Capli merupakan salah satu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang mendapatkan pembinaan dan pendampingan dari Bank Indonesia. Melalui Program Sosial Bank Indonesia (PSBI), Yuliana dan Murtala secara perlahan dan meningkatkan skala usahanya.

BI memberikan bantuan kepada Sambal Hijau Capli melalui pemberian dana sekitar Rp128 juta untuk membangun gudang pada 2023. Itu disebut menjadi pijakan awal bagi Yuliana dan Murtala untuk terus meningkatkan kapasitas produksi dan memberdayakan masyarakat sekitar.  

Kisah serupa juga dialami oleh Rumah Tenun Mutiara Songket. Putri Atika, salah satu penenun, mengaku aktivitas yang dilakoninya terus berbuah manis. Itu karena rumah tenun yang terletak di Gampong Krueng Kalee, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, dapat terus berproduksi dan meningkatkan pendapatan. 

Kegiatan tenun secara mandiri itu boleh dibilang berjalan selama puluhan tahun sebelum akhirnya berdiri Rumah Tenun Mutiara Songket. Sejatinya, rumah tenun tersebut juga merupakan program sosial dari Bank Indonesia di 2018 dan diresmikan pada 2024. 

Putri mengatakan, sejak BI memberikan dukungan kepada para penenun, produktivitas mulai meningkat. Bank sentral diketahui memberikan bantuan berupa rumah tenun sebagai tempat 10 alat tenun berproduksi. Sebanyak 9 dari 10 alat tenun itu, kata Putri, merupakan pemberian dari BI. 

Produksi songket yang mulanya tercecer, kini menjadi satu di dalam naungan Rumah Tenun Mutiara Songket. Setidaknya, dalam satu bulan, rumah tenun itu mampu memproduksi 20 set kain songket.

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh Agus Chusaini mengatakan, pembinaan UMKM membutuhkan kolaborasi yang solid. BI bersinergi dengan berbagai kementerian/lembaga, dan pemerintah daerah untuk menciptakan ekosistem yang mendukung, mulai dari pendampingan teknis hingga penguatan akses pasar. 

“Sinergi ini memastikan setiap program benar-benar memberi dampak nyata bagi pelaku usaha, seperti pada UMKM Capli dan Mutiara Songket,” kata Agus.

Pengembangan UMKM Capli, misalnya, melibatkan pengembanban dari hulu ke hilir, mulai dari pemberdayaan kelompok tani cabai hingga pengembangan produk turunan seperti sambal Capli. Kemampuan Capli dalam menyesuaikan produknya dengan keinginan pasar membuatnya selalu diminati oleh masyarakat. 

Sementara itu, Mutiara Songket menghasilkan kain songket berkualitas yang tidak hanya melestarikan budaya Aceh, tetapi juga berpotensi menjadi bahan baku untuk mendukung industri fesyen di Aceh, seperti modest fesyen. 

Hal ini turut membuka peluang bagi para desainer dan pelaku mode berbakat di Aceh untuk lebih dikenal luas, sekaligus memperkenalkan kekayaan budaya Aceh ke kancah nasional maupun internasional.

“Bank Indonesia tetap bersinergi dan berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam melakukan pengembangan ini,” pungkas Agus. (J-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri yuliani
Berita Lainnya