Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Jangan Ikuti AS, Indonesia Harus Jalan Terus di Jalur Transisi Energi

Insi Nantika Jelita
31/1/2025 00:55
Jangan Ikuti AS, Indonesia Harus Jalan Terus di Jalur Transisi Energi
PLTS di Waduk Cirata Purwakarta, Jawa Barat. Pembangkit listrik dengan tenaga surya itu menjadi PLTS terbesar di Asia Tenggara, sekaligus sebagai bentuk keseriusan Indonesia menjalankan transisi energi.(MI/Reza Sunarya )

INDONESIA diharapkan jangan sampai ikut-ikutan Amerika Serikat (AS) yang keluar dari Perjanjian Iklim Paris (Paris Agreement). Sebaliknya, Indonesia tetap harus berada di jalur transisi energi karena itu merupakan perintah UU.

"Langkah Presiden AS Donald Trump tidak perlu ditiru Indonesia. Ada 200 negara yang meratifikasi Paris Agreement, dan negara-negara ini sejauh ini tidak keluar dari kesepakatan tersebut," ujar Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, Kamis (30/1).

Indonesia, sambungnya, justru perlu memperkuat ambisi memitigasi perubahan iklim dan bekerja sama dengan negara-negara kelompok G20 untuk mempercepat transisi energi. Apalagi agenda transisi energi di Indonesia merupakan amanat UU No 59/2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2025-2045, untuk mencapai Indonesia Emas 2045.

"Sudah seharusnya pemerintah lebih patuh menjalankan amanat UU ketimbang mengkuti langkah presiden negara lain," katanya.

Selain itu, Fabby berpandangan transisi energi mesti dilakukan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan daya saing dan mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi.

Senada dengannya, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bachtiar juga berpendapat Indonesia tidak perlu hengkang dari kesepakatan Paris Agreement.

"Langkah AS tersebut tidak perlu diikuti oleh Indonesia, karena Indonesia perlu tetap komitmen untuk mengatasi dampak perubahan iklim," imbuhnya.

Indonesia disebutnya juga memiliki potensi mendapatkan keuntungan besar dalam upaya pengurangan emisi karbon. Karena itu, pemerintah mesti meningkatkan investasi hijau guna menggenjot pendapatan negara.

"Pemerintahan Prabowo Subianto justru bisa memanfaatkan momentum ini untuk memainkan peran diplomasi agar peran Indonesia semakin strategis dan mendapatkan keuntungan dari transisi energi," ujar Bisman.

Kendati demikian, ia mengingatkan keluarnya AS dari Perjanjian Iklim Paris jelas memengaruhi pendanaan kepada negara berkembang dalam proyek energi baru dan terbarukan (EBT). Terlebih, AS menjadi salah satu pemimpin program Kemitraan Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP).

"Keputusan AS jelas akan berpengaruh pada aspek pendanaan karena komitmen pendanaan juga dari AS," tutupnya. (Ins/E-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Mirza
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik