Headline

Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.

Fokus

Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.

Untuk Dukung Transisi Energi, PLTU Suralaya Layak Dipensiunkan

Insi Nantika Jelita
29/11/2024 09:28
Untuk Dukung Transisi Energi, PLTU Suralaya Layak Dipensiunkan
Peneliti lingkungan dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Timotius Rafael (tengah).(MI/Insi)

PENELITI lingkungan dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Timotius Rafael menegaskan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara Suralaya 1, 2, 3 dan 4 yang berlokasi di Cilegon, Provinsi Banten, layak dipensiunkan. Upaya ini dianggap menjadi langkah strategis dalam transisi energi.

Dengan kapasitas keseluruhan pembangkit sebesar 1.600 megawatt (MW), PLTU Suralaya memiliki emisi yang amat tinggi. Keberadaan pembangkit listrik fosil itu pun menjadi penyebab tingginya polusi udara di Cilegon, Jakarta dan sekitarnya. Sehingga, pemensiunan PLTU tersebut dinilai amat penting. 

"PLTU Suralaya unit 1-4 layak dipensiunkan. Langkah strategis ini mesti jadi perhatian pemerintahan Prabowo Subianto untuk mengejar netralitas karbon," ujarnya dalam diskusi publik bertajuk Pemensiunan PLTU Suralaya untuk Transisi Energi Berkelanjutan di Jakarta, Kamis (28/11).

Timotius menyebut PLTU Suralaya juga masuk ke dalam 13 daftar prioritas pensiun dini pembangkit listrik tenaga fosil. Total kapasitas terpasang mencapai 4,8 gigawatt (GW). 

Alasan lainnya PLTU Suralaya mesti dipensiunkan karena merupakan salah satu unit pembangkit yang tertua di Indonesia dengan umur 40 tahun. Usia pembangkit listrik ini, ungkap Timotius, melebihi batas perjanjian jual-beli listrik dan utilisasi PLTU yang umumnya selama 30 tahun. 

Teknologi yang digunakan pun merupakan teknologi lama yaitu subcritical yang menghasilkan emisi gas rumah kaca lebih besar dibandingkan teknologi ultra supercritical (USC) seperti unit 9 dan 10 Suralaya. 

Dalam catatan yang dihimpun AEER disebutkan, PLTU Unit 1-4 Suralaya yang berada di bawah naungan PT. Indonesia Power dibangun pada 1982-1989 dengan daya 4x400 megawatt. Penggunaan batu bara jenis sub bituminous dan teknologi subcritical menyebabkan empat unit ini menghasilkan jejak karbon sekitar 10 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2eq) per tahun. 

Faktor emisi pada Unit 1-4 ini adalah 1,15 ton CO2 per megawatt hour (MWh), lebih tinggi dibandingkan 0,87 ton CO2/MWh rata-rata
emisi Jamali untuk pelaporan dan kebijakan karena jenis batu bara yang digunakan dan penurunan efisiensi termal.

"Pembangkit yang lama ini, artinya efisiensi thermal pembakarannya itu sudah rendah gitu. Jadi, sudah tidak sebagus unit-unit yang barunya. Menurut kami, PLTU ini sudah layak untuk di pensiunkan," tegasnya. 

Faktor lainnya PLTU Suralaya dikatakan pantas dipensiunkan karena memiliki unit pembangkit fosil yang kompleks terdiri dari 8 unit eksisting. Pembangkit tersebut membutuhkan 35.000 ton batu bara per hari. Unit 1-4 memerlukan lebih banyak batubara untuk menghasilkan energi dibandingkan teknologi terbaru. 

Dampaknya adalah aktivitas PLTU dengan teknologi lama ini menghasilkan hujan asam atau sulfur dioksida, polusi udara yang menyebabkan gangguan pernapasan dan penyakit kardiovaskular akibat partikel halus. (S-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Denny parsaulian
Berita Lainnya